Liputan6.com, Malang - Eko Ari Anto menangis sesenggukan, kepalanya disandarkan ke pundak seorang rekannya. Tangisnya pecah, menghentikan cerita pilu tentang tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Saat itu dia dan banyak Aremania sedang berkumpul dalam sebuah forum.
Eko menceritakan, meski memegang tiket ia tak masuk ke dalam untuk menonton pertandingan. Ia pilih keliling di luar Stadion Kanjuruhan dan melihat banyak personel aparat keamanan berjaga. Di halaman luar dipasang layar besar nonton bareng bagi suporter yang tak masuk.
Tidak lama setelah peluit tanda berakhirnya pertandingan ditiup pengadil lapangan, Eko mendengar suara tembakan. Setidaknya lima kali suara letusan didengarnya. Ia mendekat, lalu melihat di pintu 10 terdengar suara banyak orang menggedor pintu disertai jeritan.
Advertisement
“Begitu pintu dibuka, saya lihat ada perempuan pingsan ditolong kawan – kawan. Setelah itu ternyata semakin banyak korban digotong keluar,” kata Eko.
Melihat kondisi itu, ia masuk ke dalam stadion membantu evakuasi korban. Ia masuk ke sektor 12 dan 14 yang sudah banyak korban. Sayang, hanya pintu 14 yang terbuka menyebabkan banyak orang berebut keluar. Mereka yang tenaganya masih kuat bahu membahu saling menyelamatkan.
“Saya lalu ke sektor 13 coba bantu di sana. Ya allah, ternyata di situ sudah seperti kuburan bagi adik-adik saya,” katanya. Tangisnya meledak, ia tak kuasa melanjutkan ceritanya.
Kepalanya disandarkan ke pundak rekannya yang duduk tepat di sampingnya dan menangis tersedu. Lima menit kemudian, ia tak mau berhenti bercerita lalu melanjutkan kisah kelam tragedi Stadion Kanjuruhan itu.
“Perjuangan teman-teman yang masih punya tenaga saat itu luar biasa membantu evakuasi. Banyak tubuh anak kecil dan wanita. Semacam kuburan massal,” tutur Eko.
Diabaikan Aparat
Melihat situasi yang sangat parah tersebut, Ia kemudian berlari mencari petugas medis tapi tak bisa menemukan mereka. Ia beralih ke aparat keamanan untuk meminta bantuan pertolongan. Personel kepolisian menolak karena takut dengan massa.
Ia mengaku nyaris dipukul saat menuju anggota TNI untuk meminta bantuan. Beruntung tindakan itu bisa dicegah seorang personel lainnya. Anggota itu menolak ikut membantu evakuasi korban sambil melontarkan makian khas Jawa Timuran.
“Temanku ya ada yang kena,” Eko menirukan perkataan seorang personel tentara itu.
Ia beralih ke steward, petugas keamanan internal di bawah panitia pelaksana. Sekali lagi pukulan hampir diterimanya. Setelah dijelaskan maksudnya, tenaga keamanan itu ikut berlari ke tribun membantu mengevakuasi korban di sektor 13.
Mereka bersama-sama berusaha membantu ratusan korban. Bahkan berupaya menghancurkan loster atau lubang angin berbahan beton di tembok tribun tapi tak membuahkan hasil. Segala daya dilakukan demi menyelamatkan nyawa rekan-rekan mereka.
“Kami sampai lemas, lalu istirahat di depan. Di sana ternyata sudah ada mobil Brimob dibalik dengan kondisi terbakar,” katanya.
Advertisement
Menuntut Keadilan
Dadang Indarto, salah seorang suporter di tribun selatan juga mengenang kisah pilu itu. Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemkot Batu ini datang bersama seorang teman dari Lampung untuk menonton pertandingan besar tersebut.
“Teman saya jauh-jauh dari Lampung ingin lihat Arema. Ternyata berakhir dengan duka,” ucapnya.
Begitu gas air mata menyasar ke tribun, Dadang dan rekannya tengkurap melepas kaos digunakan menutup wajah. Ia bisa selamat dari petaka itu, lalu berusaha menerobos menyelamatkan diri. Tak hanya lolos dari asap gas, tapi juga dari pentungan petugas.
Ia keluar lewat akses tribun VVIP, di sana sudah melihat banyak korban. Ia ikut membantu menyelamatkan korban, setelah itu lari ke petugas kepolisian untuk meminta bantuan. Ada personel yang sempat menolong, tapi kabur begitu diserang suporter yang sudah marah.
“Semula saya sangka empat jenasah, tiga perempuan dan seorang anggota polisi. Setelah saya lihat di dalam musala, ternyata berjajar banyak jenasah,” ucap Dadang.
Suasana itu menjadi sebuah kisah duka yang sulit dilupakan. Dadang menyesalkan panitia pelaksana dan manajemen Arema terkait kesiapan dalam pertandingan besar melawan rival bebuyutan Persebaya Surabaya.
Ia melihat tenaga medis sangat minim, banyak pintu ditutup tak kunjung dibuka meski pertandingan telah berakhir. Jalur evakuasi pun sama sekali tak disiapkan. Padahal di Stadion Kanjuruhan pernah terjadi peristiwa serupa, rusuh saat lawan Persib Bandung pada 2018 silam.
“Ketika itu tidak ada korban jiwa. Tapi panpel pertandingan seperti tak belajar dari pengalaman itu. Kami berharap peristiwa ini diusut sampai tuntas demi keadilan,” ucap Dadang.
Peristiwa 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan itu jadi kisah pilu bagi banyak orang yang hadir saat itu. Tragedi kelam, menancap kuat di memori mereka. Para suporter berharap peristiwa itu diusut tuntas dan keadilan ditegakkan.