Sukses

Ketua Panpel: Kenapa Gas Air Mata Ditembakkan ke Tribun yang Banyak Perempuan dan Anak?

Dalam sebuah rapat koordinasi, ia mengaku juga mengingatkan aparat keamanan soal kerusuhan di Stadion Kanjuruhan pada 2018. Ketika itu pertandingan Arema lawan Persib.

Liputan6.com, Malang - Ketua Panitia Pelaksana (panpel) Arema Abdul Haris menjadi salah satu dari enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tragedi Stadion Kanjuruhan. Ia menyebut gas air mata jadi penyebab utama ratusan orang meninggal dunia.

Abdul Haris sendiri mengaku siap menjalani proses hukum terkait tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Ia meminta kasus itu diusut sampai tuntas.

"Saya meminta maaf kepada keluarga korban, kepada seluruh Aremania. Semua karena keterbatasan saya menangani ini," kata Haris di Malang, Jumat, 7 Oktober 2022.

Menurutnya, semua tahapan jelang pertandingan telah dilakukan. Baik itu perizinan, skenario keamanan dan lainnya. Dalam sebuah rapat koordinasi, ia mengaku juga mengingatkan aparat keamanan soal kerusuhan di Stadion Kanjuruhan pada 2018. Ketika itu pertandingan Arema lawan Persib.

"Di hadapan Kapolres, Steward dan petugas keamanan lainnya jangan sampai peristiwa 2018 itu terulang," ujar Haris.

Ketika terjadi kerusuhan pada 2018 silam, petugas keamanan juga menembakkan gas air mata. Beruntung peristiwa itu tak sampai merenggut korban jiwa. Berbanding terbalik dengan peristiwa 1 Oktober 2022 lalu yang membuat banyak orang meninggal.

"Saya merasakan sendiri. Gas air mata yang dipakai sangat berbeda. Kemarin lebih panas dan perih, sampai sesak nafas," katanya.

Pada hari pertandingan itu digelar, 6 ambulan disiagakan yakni 4 di dalam dan 2 di luar stadion. Sebanyak 250 Steward atau keamanan internal di bawah koordinasi klub berjaga di pintu dan sentel ban. Mereka juga diperintahkan membuka pintu 10 menit sebelum pertandingan selesai.

"Sedangkan pengamanan dengan senjata di bawah kendali Kabag Ops Polres Malang," ucap Haris.

Begitu selesai pertandingan, Panpel mengevakuasi pemain Persebaya keluar. Sedangkan pemain Arema masih di dalam lapangan yang tak lama kemudian pecah kekacauan. Haris mencari Kapolres Malang dan petugas yang ada untuk minta bantuan.

"Tak lama, saya masuk ke lapangan dengan sesak dan perih mata. Nyawa hilang karena pemantiknya gas air mata," ujarnya.

2 dari 2 halaman

Korban Berjatuhan

Haris melihat banyak korban tergeletak di dalam stadion usai dievakuasi suporter lainnya. Kondisinya sangat mengenaskan seperti lebam di wajah, kaki patah dan lain sebagainya. Tak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu para korban.

Menurut Haris situasi itu berbeda dengan peristiwa 2018 silam. Dulu, korban masih bisa dibantu dengan air. Tapi kali ini tak bisa, banyak muka membiru. Sulit memastikan korban meninggal karena berdesakan atau disebabkan gas air mata.

"Saya minta ini semua diusut. Mengapa gas air mata ditembakkan ke tribun yang masih banyak perempuan dan anak," ujarnya.

Ia mengklaim semua pintu stadion telah dibuka jelang pertandingan berakhir. Di tiap pintu ada petugas dan bisa dilihat lewat rekaman kamera CCTV. Ia siap membuka semua fakta di persidangan nantinya.

"Standar operasional prosedur yang kami siapkan sama seperti 2018 silam. Saya siap tanggungjawab," katanya.

Haris mengaku pada 2010 silam pernah disanksi 20 tahun tak boleh beraktivitas oleh PSSI. Pada 2011 mengajukan banding dan sanksi itu dibatalkan. Ia sebelumnya juga pernah ingin mundur sebagai ketua Panpel, tapi ditolak oleh Aremania.

"Janga hanya saat Arema menang semua ikut gembira, ketika tragedi pun tak apa saya yang tanggung jawab," ujarnya.