Liputan6.com, Surabaya - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur (Jatim) Mia Amiati mengungkapkan, tren perkara keasusilaan masih menonjol di Jatim dibandingkan dengan tindak pidana pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Beberapa pelaksana dunia pendidikan misalnya dilingkungan pesantren, melaksankan kegiatan yang memenuhi unsur pencabulan maupun kekerasan seksual baik yang muslim maupun non muslim ada peristiwa pidananya di Jatim," ujarnya di Unesa Surabaya, Selasa (31/1/2023).
Mia Amiati mengatakan, penyebabnya yang pertama mungkin kekurangan pahaman dari anak didik karena guru atau kiai dianggap sebagai motivator yang petunjuknya patut dilaksanakan.
Advertisement
"Atau sebagai kiai dianggap sebagai utusan dari Tuhan memberikan pelayanan atau pengayoman kepada muridnya tapi dengan cara yang salah atau keliru," ucapnya.
Terbaru, lanjut Mia, sudah muncul lagi namum pihaknya masih belum menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tentang kegiatan yang mengakibatkan adanya tindakan kekerasan seksual yang terjadi di salah satu pesantren di Jember.
"Pelakunya adalah seorang kiai pemimpin dari Pondok Pesantren tersebut. Dan kami harus siap-siap untuk bisa menindaklanjuti dengan melakuan tindakan penuntutan dalam peristiwa tindak pidana itu," ujarnya.
Kiai Fahim
Diketahui, Polres Jember telah menetapkan pemimpin Ponpes Al Jaliel II, Fahim Mawardi sebagai tersangka dugaan kasus pencabulan dan kekerasan seksual terhadap empat santriwati di lingkungan ponpes sejak Desember 2022 hingga Januari 2023.
Pengasuh pondok pesantren di Desa Mangaran, Kecamatan Ajung Kiai FM ini dilaporkan istrinya sendiri, HA ke Polres Jember terkait dengan dugaan tindakan asusila terhadap sejumlah santri.Kasus tersebut menjadi perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), sehingga tim kementerian turun ke Kabupaten Jember dan meminta bantuan Polda Jawa Timur untuk mengawal proses penegakan hukum tindakan asusila.
Advertisement