Sukses

Serunya Lomba Jaranan Buto Cilik di Banyuwangi, Pakaian Gagah ala Prajurit tapi Wajah Marah seperti Buto

Masyarakat Banyuwangi hingga kini masih banyak yang melestarikan seni budaya tradisional khas daerahnya. Salah satunya kesenian jaranan buto yang masih digemarin anak-anak di kawasan Banyuwangi Selatan.

Liputan6.com, Banyuwangi Masyarakat Banyuwangi hingga kini masih banyak yang melestarikan seni budaya tradisional khas daerahnya. Salah satunya kesenian jaranan buto yang masih digemarin anak-anak di kawasan Banyuwangi Selatan.

Jaranan buto adalah seni tari yang menggunakan properti kuda-kudaan seperti tari kuda lumping. Saat ini, Di Banyuwangi selatan sedang booming jaranan buto di kalangan anak-anak. Di Banyuwangi pertama kalinya ajang lomba seni tari jaranan buto cilik diselenggarakan. Ratusan peserta meramaikan ajang yang digelar di Aula Cluring Waterpark Banyuwangi.

Ajang ini diminati ratusan pelajar di tingkat SD/Sederajat dan SMP/Sederajat. Didampingi oleh wali murid masing-masing siswa, membuat suasana panggung ajang Jaranan Buto Cilik semakin meriah.

Ketua panitia Suko Prayitno mengungkapkan rasa bangga, para generasi muda di Banyuwangi masih banyak yang melestarikan kesenian Jaranan Buto.

"Kebanyakan, pelajar di Banyuwangi yang berprestasi di dunia tari rata-rata perempuan. Maka dari itu kami mencoba untuk menggerakkan ajang seni tari yang diminati siswa laki-laki untuk menyalurkan bakatnya dengan lomba jaranan buto cilik." ungkap Suko.

Dengan ajang ini, Suko berharap seni jaranan buto ini menyeluruh di seluruh wilayah kecamatan se Banyuwangi.

"Intinya, jangan sampai kesenian ini punah. Generasi muda tetap eksis dengan kesenian-kesenian yang ada di Banyuwangi." imbuh Suko.

Melirik perkembangan jaranan buto di Banyuwangi, dulu kesenian ini dikembangkan oleh almarhum Setro Asnawi asal Trenggalek. Ia merantau skaligus menjadi warga Banyuwangi sekitar 1963.

Ia tinggal di Dusun Cemetuk, Desa Cluring, Banyuwangi. Setelah setahun menetap di Banyuwangi, Setro mengembangkan kesenian tari jaranan buto yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh penggiat jaranan di Bumi Blambangan.

Penari jaranan buto mengenakan pakaian ala prajurit gagah berani dan merias mukanya bak seperti amarah buto dengan menunggang kuda terbuat dari kulit bergambarkan wajah raksasa.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sejarah Jaranan Buto Banyuwangi

Berbicara soal sejarahnya tari Jaranan Buto Berasal dari Dusun Cemetuk. Sebuah dusun kecil yang menjadi bagian dari wilayah administratif  Desa  Cluring Banyuwangi dan letaknya berbatasan dengan wilayah Kecamatan Gambiran.

Dusun Cemetuk mendapatkan pengaruh kebudayaan masyarakat  Jawa Mataram yang ada di wilayah Gambiran.

Masyarakat Gambiran sebagian besar masih memiliki garis keturunan trah Mataram. Dari pengaruh itu, Kesenian Jaranan buto dikatakan sebagai bentuk akulturasi budaya. Memaduhkan kebudayaan osing- suku asli Banyuwangi dengan kebudayaan Jawa Mataram.

Jaranan Buto mengadopsi nama tokoh legendaris Minakjinggo Terdapat beberapa anggapan yang mengatakan bahwa Minakjinggo adalah seorang yang berkepala raksasa yang dalam Bahasa Jawa disebut Butho.

Penggunaan kuda dalam atraksi jaranan buto memiliki filosofi semangat perjuangan. Kuda juga dimaknai sikap ksatria dan kerja keras tanpa Lelah dari seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi semua kondisi dalam kehidupan

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.