Liputan6.com, Jakarta Ketua Kadin Jatim Adik Dwi Putranto menyatakan, proses penyusunan kebijakan tembakau semestinya dilakukan dengan selaras dan dalam kerangka meningkatkan investasi dan industrialisasi. Dia menilai pembahasan pembahasan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan turunan Undang-Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023, bersifat tidak inklusif.
"Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang meliputi hulu sampai hilir, yang saat ini kondisinya sudah menurun. Kondisi ini akan diperburuk dengan aturan zat adiktif tembakau pada RPP yang berdampak pada seluruh ekosistem rokok, petani, industri, pedagang, bahkan hingga industri periklanan,” ucapnya saat sarasehan nasional menyikapi pembahasan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan turunan Undang-Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023, Jumat (29/9/2023).
Dalam draf RPP yang disusun oleh Kementerian Kesehatan, terdapat sejumlah pasal berisi larangan terkait produk tembakau yang menekan dan ditentang oleh ekosistem tembakau. Di antara pasal-pasal tersebut adalah larangan penggunaan bahan tambahan, larangan penjualan eceran, larangan menjual produk di tempat umum serta aplikasi penjualan komersil, larangan beriklan di media luar ruang, tempat penjualan, maupun di internet, hingga larangan mempublikasikan kegiatan CSR.
Advertisement
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun yang hadir pada acara tersebut mengatakan, sesuai amanat Pasal 152 UU Kesehatan, ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Namun, dalam kenyataanya draf RPP sudah memberi pengaturan tersendiri yang ruang lingkupnya melampaui kewenangan (over authority), karena beberapa pasal di dalamnya, terlebih yang terkait tembakau bertabrakan dan melebar dari apa yang diatur di dalam UU.
“Sumbangsih IHT terhadap negara selama ini sudah sangat luar biasa, namun terus ditekan dengan berbagai macam aturan. Contoh, salah satu pasal yang tercantum di dalam RUU ini terkait penjualan eceran. Hal ini sangat aneh karena PP kesehatan tidak semestinya mengatur mengenai cara berjualan rokok. Ini memperlihatkan over authorithy yang ada di dalam RPP Kesehatan, dan karena itu, sudah sewajarnya kita memakai hak konstitusi kita sebagai rakyat untuk menolak Rancangan Peraturan Pemerintah ini demi memastikan kesejahteraan mata rantai IHT,” katanya.
GAPPRI Ikut Menolak
Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan juga turut menegaskan sikap menolak draf RPP tersebut.
“Tembakau adalah produk legal, sehingga pengaturannya seharusnya disamakan dengan produk legal. Saat ini, draf peraturan yang disusun sudah sangat restriktif, dan ini hanya akan mematikan ekosistem tembakau yang saat ini sudah terus dalam kondisi menyusut,” ucapnya.
Henry juga menegaskan bahwa keberadaan PP 109 tahun 2012 yang saat ini masih berlaku telah mampu mengendalikan peredaran zat adiktif tembakau dengan seimbang, sehingga Pemerintah tidak perlu merevisi yang hanya akan memberi dampak fatal.
Dalam penyusunan PP 109 tahun 2012 sebelumnya, proses pembahasan memakan waktu 3 tahun dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan menghasilkan sebuah aturan yang berimbang dengan mempertimbangkan aspek perlindungan kesehatan, serta aspek kepentingan ekonomi.
“Dengan restriktifnya peraturan yang saat ini tengah disusun, pemerintah perlu menyadari bahwa hal ini akan merusak keseimbangan yang ada. Sangat mungkin upaya pengendalian konsumsi produk tembakau yang ingin dicapai malah tidak berjalan efektif, namun malah akan mendukung maraknya peredaran rokok illegal yang saat ini sudah cukup tinggi ” tambahnya.
Advertisement