Liputan6.com, Jakarta - Para politisi yang mencalonkan diri baik di eksekutif maupun legislatif sering mengobral janji di masa kampanye. Demi menarik suara sebanyak-banyaknya, mereka menjanjikan program-program manis ala negara kesejahteraan. Bermacam kebutuhan masyarakat dijanjikan akan dibiayai negara.
Baca Juga
“Para politisi pada saat masa kampanye, demi menarik suara sebanyak-banyaknya, menjanjikan beragam macam program-program populis. Misal, sarapan dan program gratis lainnya, subsidi harga barang-barang tertentu, segala macam program bantuan,” kata Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) Nanang Sunandar, saat peluncuran buku "Setelah Negara Kesejahteraan (2023)" di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, Jumat (22/12/2023).
Advertisement
Menurut Nanang, meski terdengar manis, janji-janji ala negara kesejahteraan merugikan masyarakat sendiri, terutama generasi yang akan datang. Ini karena uang untuk memenuhi janji-janji populis ala negara kesejahteraan dibebankan pada APBN dan dapat meningkatkan utang negara.
“Dampaknya, bayi yang baru lahir sudah menanggung beban utang yang begitu banyak karena janji-janji para politisi. Generasi di masa yang akan datang diwarisi beban ekonomi oleh para politisi pengobral janji kesejahteraan” kata penerjemah buku Setelah Negara Kesejahteraan ini.
Selain itu, lanjut Nanang, demi mengejar negara kesejahteraan, pembangunan harus digenjot dan mengabaikan aspek kerusakan lingkungan.
Senada dengan Nanang, ekonom Poltak Hotradero mengatakan bahwa negara demokrasi seperti Indonesia memungkinkan para politisi mengobral janji-janji populis program-program kesejahteraan demi menarik suara sebanyak-banyaknya.
Kritis dalam Istilah Negara Harus Hadir
Bagi Poltak, program-program ala negera kesejahteraan melibatkan uang besar, yang memunculkan administrasi dan birokrasi yang gemuk serta ongkos yang sangat besar. “Hati-hati dengan program yang datangnya dari atas ke bawah. Saya mendukung program yang datang dari bawah ke atas,” kata Poltak.
Poltak mewanti-wanti agar masyarakat tidak menyerahkan segala urusan personal kepada negara.
“Saya adalah yang kritis dalam istilah negara harus hadir. Banyak hal yang perlu kita selesaikan sendiri. Kita, sebagai orang yang mencintai demokrasi dan tahu kelemahan demokrasi, harus cerdas,” pungkasnya.
Advertisement