Liputan6.com, Surabaya - Pengamat ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Made Sukartini menyatakan, kenaikan pajak secara progresif untuk jasa hiburan dapat dimaklumi.
Hal itu karena pembayaran pajak, baik pajak langsung maupun tidak langsung selalu berdampak pada kebocoran ekonomi (leakage). Oleh sebab itu, setiap individu, rumah tangga, dan perusahaan akan memandang pajak sebagai beban atau biaya.
“Konsumsi jasa hiburan, khususnya hiburan diskotik, karaoke, bar, dan lainnya bukan bagian dari kebutuhan dasar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan bukan pula aktivitas yang produktif. Oleh karena itu, tarif pajak yang progresif pada aktivitas hiburan ini masih dapat diterima,” terangnya pada Rabu (17/1/2024).
Advertisement
Made mengatakan pajak hiburan merupakan salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya tingkat kabupaten/kota. Hal itu sesuai dengan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009. Tingginya PAD suatu daerah tidak hanya mencerminkan kemandirian fiskal, tetapi juga mencerminkan perkembangan aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
Menurutnya, pemungutan pajak baik itu oleh pusat maupun daerah bertujuan untuk meningkatkan sumber-sumber penerimaan pemerintah.
Dalam konteks kenaikan tarif pajak hiburan, khususnya hiburan diskotik, karaoke, bar, dan lainnya penerimaan pajak ini akan meningkatkan PAD. PAD merupakan salah satu sumber dana pembiayaan pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia di daerah yang bersangkutan.
“Oleh karena itu, peningkatan tarif pajak hiburan jenis ini akan berdampak positif bagi penerimaan PAD. Selain itu, kenaikan ini akan berdampak pada pembiayaan pembangunan daerah serta sebagai sarana redistribusi kesejahteraan dari kelompok better off ke kelompok worse off,” papar ketua prodi Magister Ekonomi Kesehatan itu.
Lebih lanjut, Made Sukartini menyampaikan konsumsi jasa hiburan adalah jenis usaha yang unik. Dari sisi permintaan, tidak semua anggota masyarakat mampu mengonsumsi jasa hiburan ini. Jika pun mampu, mereka akan melakukannya pada waktu-waktu tertentu.
"Dengan kata lain, orang yang menikmati jasa hiburan ini sudah mempertimbangkan konsekuensinya yakni harganya yang mahal. Jadi, mereka harus rela berkorban untuk membayar lebih mahal," ujarnya.
Tidak Menyerap Banyak Tenaga Kerja
Sedangkan dari sisi penawaran, proses produksi layanan jasa ini tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Mereka justru membutuhkan jasa spesifik yang seringkali lebih berfokus pada penampilan, bukan skills khusus atau investasi pendidikan.
Kemudian, keberadaan tempat usaha hiburan ini seringkali membuat rasa tidak nyaman bagi warga sekitar karena cukup membuat kebisingan. Untuk membatasi cepatnya pertumbuhan jasa hiburan ini, maka penaikan pajak hiburan ini secara normatif lebih dapat diterima.
“Apakah kenaikan pajak ini sampai membekukan usaha hiburan di tanah air? Saya rasa tidak. Selama masih ada permintaan dari kelompok-kelompok yang mampu membayar dan menikmati hiburan ini, maka peluang tumbuhnya usaha ini tetap ada,” tegasnya.
Pada akhir, Made menekankan bahwa secara pribadi ia menyetujui aturan tersebut. Menurutnya, menikmati hiburan di diskotik, karaoke, bar, dll termasuk konsumsi jasa luxurious bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, mengonsumsi jasa tersebut tidak menimbulkan aktivitas ekonomi yang produktif, tidak berkontribusi banyak pada penyerapan angkatan kerja, dan tidak juga menimbulkan nilai tambah bagi mata rantai aktivitas ekonomi di sekitar.
“Misalnya, dalam hal menyerap produksi bahan makanan lokal. Makanan yang ada di tempat hiburan ini sering kali hasil impor, bukan makanan yang hasil produksi masyarakat sekitar tempat hiburan tersebut,” paparnya.
Advertisement