Sukses

Lestari Moerdijat: Stunting Berkaitan dengan Kemiskinan Ekstrem Mesti Dicegah Bersama-sama

Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyatakan, mewujudkan pemenuhan gizi anak bangsa harus dilakukan melalui gerak bersama-sama dengan perencanaan yang matang.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyatakan, mewujudkan pemenuhan gizi anak bangsa harus dilakukan melalui gerak bersama-sama dengan perencanaan yang matang.

"Anak usia di bawah lima tahun yang mengalami kekurangan gizi di Indonesia masih cukup tinggi. Padahal, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa kesehatan warga negara merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan," katanya, saat diskusi daring 'Dampak Gizi Buruk Terhadap Kecerdasan Anak Indonesia', Rabu (24/1/2024).

Menurut Lestari, stunting sebagai persoalan kesehatan ibu dan gizi anak merupakan permasalahan yang kompleks berkaitan dengan kemiskinan ekstrem yang mesti dicegah secara bersama-sama.

Rerie, sapaan akrab Lestari mengungkapkan tahun 2045 untuk menyambut Indonesia Emas merupakan waktu yang singkat untuk menciptakan generasi yang unggul seperti yang dicita-citakan.

Komitmen Indonesia sesuai agenda PBB terkait tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) kedua yaitu zero hunger, tambah dia, adalah menekan angka prevalensi stunting hingga mencapai angka 14% pada tahun 2024.

Diakui Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, penurunan angka prevalensi stunting sangat dipengaruhi oleh penurunan angka kemiskinan ekstrem yang ditargetkan mencapai 0% pada 2024.

Sejak 2018, tambah Rerie, Pemerintah telah menetapkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018 – 2024 melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.

Penyelesaian stunting, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, kini berhadapan dengan realita belum tuntasnya penyelesaian masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Rerie menegaskan kerja bersama secara terukur untuk menyelesaikan ragam masalah sosial yang dihadapi masyarakat harus segera dilakukan dalam upaya mewujudkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan.

Direktur WHO SEARO 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa sebenarnya gangguan gizi itu bukan hanya stunting, tetapi wasting (gizi kurang atau gizi buruk, yaitu proporsi berat badan anak terhadap tinggi badannya sangat kurang) dan overweight (kelebihan berat badan).

Stunting, menurut Tjandra, tinggi dan berat badan balita yang tidak sesuai dan berlangsung berkepanjangan.

Sehingga, tambah dia, aspek yang mempengaruhi terjadinya stunting juga terkait dengan kondisi sosial ekonomi bangsa dalam memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Menurut Tjandra, stunting bisa membuat anak tidak bisa mencapai potensi diri yang seharusnya dimiliki, sehingga dampaknya dirasakan sepanjang hidupnya dan menjadi masalah yang tidak sederhana.

Tjandra mengungkapkan catatan WHO menyebutkan pada 2014 terdapat 162 juta anak di dunia mengalami stunting. Target dari lembaga kesehatan dunia itu, tambah dia, terjadi pengurangan sebesar 40% anak stunting pada 2025.

2 dari 2 halaman

2020 WHO Catat Jumlah Anak Stunting 159 Juta

Menurut Tjandra, pada 2020 WHO mencatat jumlah anak penderita stunting 159 juta dan pada 2022 tercatat 148,1 juta anak stunting. Diakuinya jumlah anak stunting di dunia cenderung menurun, tetapi tren tersebut diperkirakan belum mampu mengejar target penurunan 40%.

Tjandra berpendapat, bila di Indonesia menargetkan angka stunting 14% pada 2024 membutuhkan upaya yang luar biasa untuk mewujudkan.

Memperkuat upaya intervensi dengan implementasi yang nyata, jelas Tjandra, merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan.

Selain itu, tambah dia, secara umum juga dibutuhkan upaya peningkatan kualitas pendidikan, pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan kualitas sanitasi dan kualitas asupan pangan masyarakat.