Liputan6.com, Jakarta Sejumlah aktivis dakwah Muhammadiyah membeber lika-liku dakwah yang dilakoninya di daerah masing-masing, pada acara Pengkajian Ramadan 1445 H PP Muhammadiyah, yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
Takmir Masjid Al-Jihad Banjarmasin Taufik Hidayat menjelaskan, masjid tempatnya dakwah mendapat kepercayaan dari umat muslim di luar Muhammadiyah.
Baca Juga
Kepercayaan itu dilihat dari antusiasme umat muslim sekitar pada pelaksanaan program ibadah seperti kurban, dan zakat. Bahkan pada penyelenggaraan jenazah pun, Masjid Al-Jihad kerap menerima jenazah dari luar Muhammadiyah.
Advertisement
Taufik menerangkan, Takmir Masjid Al-Jihad tidak kaku atas perbedaan terkait penyelenggaraan jenazah, melainkan memberikan ruang bagi jamaah di luar Muhammadiyah untuk melaksanakan sesuai versinya pada bagian tertentu yaitu penguburan.
"Keterbukaan itulah yang kemudian membuahkan kepercayaan umat muslim sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih luas. Tidak hanya sebagai pusat peribadatan, Masjid Al-Jihad dikelola menjadi pusat ekonomi, pusat syiar dakwah, dan pusat peradaban melalui program-program unggulan seperti TV Al-Jihad, beasiswa, ATM Al-Jihad, makan gratis, dan lainnya," bebernya, Jumat (22/3/2024).
Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cileungsi Kabupaten Bogor Mustopa Idris turut membagikan pengalamannya. Dia menegaskan bahwa apabila ranting, cabang, dan masjid dikelola dengan baik dan menjadi unggul, maka dapat dijadikan sebagai pusat relasi sosial bagi Muhammadiyah.
"Berdasarkan pengalaman di PCM Cileungsi, hal itu dapat dicapai melalui pengintegrasian unsur-unsur yang ada di Muhammadiyah. PCM Cileungsi melakukan manajemen sentralisasi, sebagai strategi mempercepat pengembangan amal usaha Muhammadiyah," ujarnya.
Pesantren Terkendala Kiai
Sementara itu, unsur lainnya yang juga perlu dikuatkan untuk menjadi pusat relasi Muhammadiyah ialah pondok pesantren. Dalam hal ini Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah Maskuri menerangkan bahwa pesantren di Muhammadiyah masih kesulitan menyesuaikan dengan regulasi pemerintah yaitu Undang-undang (UU) No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Hal itu disebabkan ada beberapa syarat yang belum terpenuhi oleh pesantren Muhammadiyah di daerah, salah satunya ialah ketersediaan Kiai. Maskuri membenarkan adanya kesulitan dari pesantren Muhammadiyah di daerah-daerah untuk mencari Kiai sebagai syarat status pesantren sesuai UU tersebut.
“Secara UU, pesantren yang kita (Muhammadiyah) miliki kurang terakomodir. Kami berharap pada PDM atau cabang, kalau mau pesantren binaannya didorong untuk menjadi pesantren sesuai UU, maka harus memenuhi syarat pesantren yaitu ada kiai, santri, asrama, kajian kitab kuning/dirasah islamiyah dan masjid,” ungkap Maskuri.
Advertisement