Sukses

3.703 WNI Jadi Korban TPPO Dipekerjakan Sebagai Penipu Online, Terbanyak dari Kamboja

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sekitar 40 persen korban berasal dari wilayah Sumatera Utara.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyatakan, hingga Maret 2024 ditemukan ada 3.703 WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipekerjakan sebagai pelaku penipuan online.

"Paling banyak itu dari Kamboja 1.914 orang, kemudian yang kedua Filipina 680 orang, yang berikutnya Thailand 364 orang, dan Myanmar ada 332 orang," kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Sri Hastuti Sulistyaningrum, di Jakarta, Selasa 30 Juli 2024.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tim Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sekitar 40 persen korban berasal dari wilayah Sumatera Utara.

"Sebagian besar hampir saya katakan 30 - 40 persen-nya itu dari Sumatera Utara," kata Woro Sri Hastuti Sulistyaningrum.

Woro Sri Hastuti Sulistyaningrum menambahkan, para korban TPPO yang dipekerjakan sebagai pelaku penipuan online itu berasal dari kalangan berpendidikan. Mereka terjebak dengan iming-iming bekerja di bidang informasi dan teknologi (IT) di perusahaan luar negeri.

"Korbannya melek teknologi, usia produktif 18 sampai 35 tahun dan bahkan mereka berpendidikan tinggi, ada yang sudah S2," kata Woro.

Namun, sampai di negara tujuan, para korban justru disekap dan dipaksa bekerja yang tidak sesuai perjanjian awal.

Para korban TPPO bahkan diancam dengan pemotongan gaji apabila tidak memenuhi target yang ditentukan oleh pemilik bisnis ilegal tersebut.

"Jadi kalau mereka tidak memenuhi target, gaji mereka dipotong. Mereka itu tidak boleh kemana-mana, di situ saja mereka bekerja, semacam ada penyekapan, ada eksploitasi, makanya itu terjadi TPPO," kata Woro Sri Hastuti Sulistyaningrum.

2 dari 2 halaman

TPPO Jadi PSK di Australia

Polri bersama Australian Federal Police (AFP) kepolisian Australia masih terus mendalami terkait kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Sydney.

Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengungkap kontrak kerja yang dibuat oleh dua tersangka FLA (36) dan SS alias Batman kepada 50 WNI yang jadi korban TPPO.

“Ditemukan juga file draft perjanjian kerja sebagai psk di dalam laptop tersangka yang mana perjanjian kerja tersebut diberikan kepada calon PSK sebelum berangkat ke Sydney Australia,” kata Djuhandani saat jumpa pers, Selasa (23/7).

Adapun isi dari perjanjian itu, tidak memuat secara detail hak-hak korban seperti asuransi, gaji, jam kerja maupun jenis pekerjaan. Melainkan hanya berupa biaya sewa dan kewajiban bekerja selama berada di Sydney.

“Memuat tentang biaya sewa tempat tinggal 1 minggu sebesar 100 AUD, gaji 1 bulan pertama ditahan sampai 3 bulan atau kontrak selesai. Jam kerja 10-12 jam/hari, kerja minimal 20 hari/bulan,” tuturnya.

Selain itu, korban juga diminta untuk menandatangani surat perjanjian utang piutang. Dengan konsekuensi wajib membayar Rp50 juta apabila memutus kontrak kerja secara tiba-tiba dalam tempo waktu tiga bulan sejak pertama bekerja.

"Korban harus membayar utang tersebut (kalau memutus kontrak kerja)" ujar dia.

Lewat bisnis ilegalnya yang berjalan sejak 2019, FLA tersangka yang bertugas merekrut sampai mengirim korban ke Sydney dan SS selaku mucikari yang berada di Australia berhasil meraup keuntungan ratusan juta rupiah.

“Dari pengakuan tersangka jaringan ini sudah melakukan aktivitas sejak tahun 2019. Dimana jumlah WNI yang direkrut dan diberangkatkan sebagai pekerja seks komersial di Australia kurang lebih 50 orang. Dan tersangka dalam hal ini sudah mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp500 juta,” jelasnya.