Sukses

Informasi Umum

  • PengertianBuruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah.

Berita Terkini

Lihat Semua
Topik Terkait

    Harapan Buruh di Tengah Masa Pandemi 2020

    Peringatan Hari Buruh Internasional pada Jumat, 1 Mei 2020 berbeda seiring pandemi COVID-19 yang terjadi secara global. Serikat buruh di Indonesia pun tetap menyuarakan tuntutannya dengan tidak turun ke jalan. 

    Salah satunya yang akan dilakukan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Timur dengan menyuarakan tuntutan secara virtual lewat media sosial.

    “Kami absen tidak aksi turun jalan karena wabah corona,” ujar Sekjen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Jazuli saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, ditulis Jumat, (1/5/2020).

    Jazuli menuturkan, pihaknya tetap menyuarakan tuntutan pada Hari Buruh internasional antara lain menghentikan pembahasan RUU omnibus law cipta kerja, meliburkan seluruh buruh dengan tetap mendapatkan upah penuh selama masa pandemi dan mampu mencegah gelombang PHK.

    9 Poin Tuntutan Buruh kepada Presiden Jokowi pada Hari Buruh 2021

    Serikat buruh memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, Sabtu 1 Mei 2021. Dalam peringatan tersebut, buruh menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah melalui petisi.

    Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, pembukaan UUD 1945 telah menetapkan tujuan bernegara. Diantara tujuan itu adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.

    Berikut daftar tuntutan buruh dalam Petisi May Day kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi):

    - Pertama, terkait pengaturan upah minimum. Dalam UU Cipta Kerja diatur UMK bersyarat; UMSK dihapus; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat alternatif, yaitu inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Pengaturan yang demikian menunjukan tidak adanya perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh.

    Untuk mencapai tujuan bernegara dalam pengaturan upah minimum seharusnya ditetapkan; UMK tanpa syarat; UMSK tetap diberlakukan; dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat kumulatif, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dimana setiap 5 tahun sekali dilakukan peninjauan ulang terhadap KHL.

    - Kedua, terkait pengaturan pesangon. Dalam UU Cipta Kerja diatur: nilai UP, UPMK, dan UPH ditetapkan standarnya; dan nilai UPH 15 persen dihilangkan. Semestinya, untuk mencapai tujuan bernegara, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh diwujudkan dengan membuat pengaturan: nilai UP, UPMK, dan UPH tidak ditetapkan sesuai ketentuan (nilai standar), melainkan bersifat paling rendah (nilai minimum) agar terbuka peluang bagi perusahaan untuk memberikan nilai lebih kepada buruh; dan nilai UPH 15 persen tidak dihilangkan.

    - Ketiga, terkait pengaturan outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja diatur: hanya ada satu jenis outsourcing, yaitu outsourcing pekerja yang bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, termasuk untuk kegiatan pokok (tidak hanya kegiatan penunjang). Perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sesuai tujuan bernegara hanya dapat dicapai apabila: outsourcing dibatasi untuk 5 jenis pekerjaan saja yang terdiri dari outsourcing pekerjaan dan outsourcing pekerja yang dikhususkan untuk kegiatan penunjang.

    Apabila outsourcing dibenarkan untuk kegiatan pokok maka dapat terjadi seluruh atau sebagian besar pekerja di suatu perusahaan adalah pekerja outsourcing abadi yang ketika mengalami PHK dia tidak akan menerima pesangon dan jaminan sosial dari perusahaan tempatnya bekerja.

    - Keempat, terkait pengaturan karyawan kontrak (PKWT). Dalam UU Cipta Kerja diatur PKWT tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Aturan tersebut tidak sesuai dengan tujuan bernegara sebab dengan pengaturan itu buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).

    Untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya diatur: dibuat pembatasan PKWT 3-7 periode kontrak dengan batas maksimal waktu kontrak 5-7 tahun yang diatur pada tingkat UU. Dengan begitu buruh memiliki kepastian hukum dan berpeluang menjadi karyawan tetap.

    - Kelima, terkait pengaturan tenaga kerja asing (TKA). Dalam UUCK diatur: TKA kategori buruh kasar (unskilled workers) diberi peluang secara luas untuk bekerja di Indonesia tanpa suatu izin dengan pengawasan terbatas. Ketentuan tersebut tidak menunjukan adanya perlindungan kepada pekerja WNI yang semestinya mendapatkan prioritas untuk mengisi posisi/pekerjaan tersebut.

    Oleh sebab itu, sesuai dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh lokal diperlukan izin tertulis dari menteri sebagai bentuk pengawasan terhadap TKA yang bekerja di Indonesia.

    - Keenam, terkait pengaturan PHK. Dalam UUCK diatur: pekerja dapat di PHK secara sepihak oleh perusahaan tanpa harus menunggu penetapan pengadilan PHI dan dalam kondisi tersebut pengusaha dibenarkan untuk tidak membayar upah buruh, jaminan kesehatan, dan hak pekerja lainnya.

    Ketentuan tersebut tidak selaras dengan tujuan bernegara untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada pekerja/buruh sehingga terhadap aturan PHK, pengusaha hanya dibenarkan melakukannya setelah ada penetapan dari pengadilan PHI dengan tetap memenuhi hak-hak buruh sebelum adanya putusan pengadilan PHI. PHK yang dilakukan tanpa mengikuti ketentuan tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.

    - Ketujuh, terkait pengaturan pidana. Dalam UUCK diatur: pengusaha yang menggunakan TKA tanpa izin tertulis dari menteri terbebas dari sanksi pidana; dan tidak dibayarkannya UPMK dan UPH tidak disertai ancaman pidana. Demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh sesuai dengan tujuan bernegara sudah seharusnya pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal menggunakan TKA tak berizin dan tidak membayar UPMK dan UPH kepada pekerja dikenai sanksi pidana.

    - Kedelapan, terkait pengaturan cuti dan istirahat. Dalam UUCK diatur: hak libur (1 hari) hanya diberikan kepada buruh yang bekerja selama 6 hari dalam seminggu; hak upah buruh tidak dibayarkan apabila buruh menggunakan cuti tahunan; dan tidak ada lagi hak istirahat/cuti panjang yang diberikan kepada buruh.

    Aturan-aturan tersebut sama sekali tidak memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh sebab selain yang bekerja 6 hari dalam seminggu, terdapat pula buruh yang bekerja selama 5 hari dalam seminggu sehingga terhadap mereka perlu pula dibuat pengaturan yang jelas dengan memberikan libur selama 2 hari; terhadap buruh yang menggunakan cuti tahunan harus pula tetap dibayarkan upahnya; dan hak cuti/ istirahat panjang buruh harus tetap diberikan.

    - Kesembilan, terkait pengaturan waktu kerja. Dalam UUCK diatur: waktu lembur buruh dapat diberikan kepada buruh sampai dengan 4 jam/hari dan 18 jam/minggu. Ketentuan tersebut mengakibatkan waktu kerja buruh menjadi lebih panjang dan mengurangi hak libur bekerja bagi buruh. Demi memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya waktu lembur ditentukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam/minggu.

    "Pengaturan UUCK yang tidak sesuai dengan tujuan bernegara dalam rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada kaum buruh diatas sudah semestinya dikoreksi sebab berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, pekerja/buruh berhak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja," ungkap Said Iqbal.

    Dua konfederasi buruh tebesar di Tanah Air yaitu, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memperingatkan Pemerintah untuk patuh menaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Cipta Kerja. Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea menegaskan, perjuangan panjang buruh selama 4 tahun baik di jalanan maupun secara konstitusi janganlah kembali diabaikan. (Istimewa)
    Ketua Apindo Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam menilai Pemerintah Indonesia telah berhasil merumuskan formula penghitungan UMP yang adil bagi pekerja dan pengusaha seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan revisi dari dua aturan terdahulu yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021 dan PP Nomor 78 Tahun 2015.