Liputan6.com, Jakarta Penyelenggara jasa layanan telekomunikasi mempertanyakan keberadaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut dari industri telekomunikasi Indonesia. Pertanyaan itu mencuat karena adanya ketidakjelasan dalam dasar PNBP telekomunikasi yang berlaku saat ini.
Prof. Dr. Haula Rosdiana, Akademisi dari Universitas Indonesia mengatakan, untuk sementara ini PNBP dan pungutan lain di industri telekomunikasi tidak punya standar tetap dan tidak diatur dalam undang-undang (UU).
"Pungutan terhadap penyelenggara jasa telekomunikasi dan frekuensi bersifat memaksa. Lucunya pengaturan pungutan PNBP telekomunikasi diatur hanya di dalam lampiran Peraturan Pemerintah (PP) seharusnya diatur dalam UU," papar Profesor ilmu pajak wanita pertama di Indonesia itu.
Lebih lanjut, Guru Besar Universitas Indonesia itu menyebutkan bahwa jumlah pungutan PNBP yang didasarkan pada lampiran PP merupakan sebuah tindakan inkonstitusional dan menyalahi UUD 1945.
"Pungutan memaksa yang tak jelas aturannya masuk dalam kategori inkonstitusional, termasuk PNBP telekomunikasi yang hanya diatur PP hanya ada di lampiran pula," ungkapnya sambil mengulas senyum.
Aturan pengaturan pajak dan pungutan lain termaktub dalam UUD 1945 pasal 23A yang menyebutkan, "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang".
Haula juga mengkritisi soal penyaluran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang masuk ke kas negara dan digabungkan dengan dana yang dikumpulkan dari pajak. Menurut Haula, dana BHP seharusnya digunakan untuk merawat frekuensi dan kebutuhan industri telekomunikasi yang memakai frekuensi.
"BHP Frekuensi yang dibayarkan perusahaan telekomunikasi seharusnya dikembalikan untuk kebutuhan industri telekomunikasi ataupun mengurusi manajemen pemeliharaan frekuensi itu sendiri bukan ikut bergabung dengan pajak," tandasnya.
Â