Sukses

Mengapa Pemblokiran Konten Pornografi Kerap Gagal?

Ofcom menemukan bahwa rata-rata pengguna internet di Inggris hanya 13 persen yang mengaktifkan fitur filter pornografi.

Liputan6.com, Sebuah laporan dari regulator telekomunikasi Ofcom menemukan bahwa rata-rata pengguna internet di Inggris hanya 13 persen yang mengaktifkan fitur filter pornografi.

Dari semua itu hanya 4 persen pelanggan layanan streaming video Virgin yang mendaftar filter pornografi, 5 persen dari pelanggan saluran televisi BT, dan 8 perse dari pengguna saluran televisi Sky.

Mengutip laman Telegraph, Rabu (30/7/2014), itu merupakan salah satu indikator yang membuat pemblokiran konten pornografi tidak maksimal dan selalu gagal karena hal ini harus melibatkan peran masyarakat.

Di Indonesia sendiri tim yang secara legal memiliki kuasa penuh untuk menentukan konten negatif adalah Tim Trust+. Tapi sejauh ini akuntabilitas dan transparansinya masih dipertanyakan.

Direktur ICT Watch dan praktisi Internet Sehat, Donny Budhi Utoyo menyatakan hingga saat ini tidak diketahui siapa sebenarnya orang-orang yang ada di balik tim Trust+ Kominfo.

"Masyarakat perlu tahu siapa mereka (tim Trust+ Kominfo), bagaimana mereka dipilih, dan bagaimana cara mereka dalam menentukan konten negatif," kata Donny kepada tim Tekno Liputan6.com.

Donny berpendapat, seyogyanya pemblokiran konten negatif tidak hanya dilakukan oleh Kominfo, tetapi juga harus melibatkan semua stakeholder terkait, termasuk masyarakat, akademis, perusahaan, dan lainnya.

Bahkan, mekanisme blokir konten internet di Indonesia dianggap tidak jelas. Ronald Deibert, Director Citizen Lab of Canada Centre for Global Security Studies di gelaran Internet Governance Forum (IGF) 2013, mengeluhkan tidak jelasnya mekanisme blokir situs internet di Indonesia.

Hasil riset Citizen Lab menemukan bahwa ketika ada sebuah situs diblokir di Indonesia (padahal seharusnya tidak perlu diblokir), lalu setelah diberitahu ISP kemudian membuka blokirnya hanya dalam hitungan menit. Bagaimana mekanismenya, Citizen Lab sendiri belum mengetahuinya.

"Proses pemblokirannya tidak jelas dan itu bisa menjadi potensial abuse," ujar Deibert.