Sukses

Ini Penyebab Lambatnya Adopsi Cloud di Indonesia

Mayoritas orang atau perusahaan di Indonesia masih meragukan sistem cloud.

Liputan6.com, Jakarta - Hasil riset perusahaan analisis bisnis, SAS, menyebutkan bahwa pertumbuhan data akan semakin tak terkendali dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Salah satu penyebabnya adalah tren perangkat mobile yang semakin memasyarakat.

Diperkirakan pada tahun 2020 mendatang, jumlah data yang ada akan bertumbuh mencapai 50 kali lipat dibandingkan tahun 2012 silam. Sebagai informasi, di tahun 2012 lalu saja tercatat sudah ada sekitar 2,8 zettabytes (2,8 triliun gigabyte) data di dunia ini.

Teknologi media penyimpanan berbasis cloud pun diklaim sebagai solusi yang paling relevan. Pertumbuhan data yang begitu masif diyakini tidak dapat lagi diakomodasi oleh sistem penyimpanan konvensional jenis storage hardware atau private (On-Premiese). Cloud yang mengusung konsep infrastruktur bersama (berbagi dengan pengguna lain) dinilai akan lebih efisien bagi para penggunanya.

Namun sayang, menurut Country Manager NetApp Indonesia, Steven Law, adopsi cloud di Indonesia masih sangat lambat. "Adopsinya masih sekitar di bawah 10%," ungkap Steven. 

Steven menjelaskan, mayoritas orang atau perusahaan di Indonesia masih meragukan sistem cloud. Karena sifatnya yang virtual dan tak memiliki wujud fisik, banyak orang yang masih meragukan keamanannya.

"Cloud itu kan basisnya infrastruktur bersama, seperti apartemen lah. Sekarang di Indonesia rumah masih lebih laku dibanding apartemen. Alasannya adalah keamanan, karena berbagi dengan yang lain dikira tidak aman. Masih banyak yang belum mengerti bagaimana sebenarnya cara kerja cloud," paparnya.

Selain itu, menurut Steven, regulasi pemerintah yang belum jelas terkait cloud pun menjadi kendala yang cukup signifikan dampaknya.

"Pemerintah belum punya regulasinya, kompleks memang. Industrinya macam-macam, regulasinya juga harus macam-macam. Perusahaan di industri perbankan misalnya, tidak boleh menggunakan public cloud, sementara perusahaan di industri lain boleh. Sayangnya itu semua belum diregulasi dengan baik," ujar Steven.

Sementara untuk sektor infrastruktur, Steven mengatakan, "Infrastruktur ya mau tidak mau harus dikejar. Seperti naik mobil, lihatnya ke depan, bukan ke belakang. Jadi, kalau bandwith-nya jelek yang diperbaiki. Sama seperti regulasi, kalau sekarang belum ada, ya harus segera dibuat. Teknologi itu maju ke depan dan kita harus ikut."

Steven sendiri mengaku pihaknya kini tengah giat mengedukasi para calon pelanggannya untuk bisa lebih memahami apa dan bagaimana cara kerja dari cloud. "Mungkin baru 2-3 tahun ke depannya, cloud bisa mulai bisa diterima di tingkat enterprise Indonesia," tutup Steven.

(dhi/isk)

Video Terkini