Liputan6.com, Hannover - Setelah Edward Snowden mengungkap praktek penyadapan dan pencurian data yang dilakukan NSA, dunia dihebohkan oleh 'ketelanjangan' sistem teknologi informasi (IT) yang membuat data rentan dicuri. Dalam pameran IT terbesar dunia, CeBIT 2015, 'umpan' Snowden menjadi ditanggapi antusias oleh negara-negara maju.
Di ajang CeBIT (Centrum fur Buroautomation, Informationstechnologie und Telekommunikation) atau Center for Office Automation, Information Technology and Telecommunication 2015, di Hannover, Jerman, Snowden memaparkan bahaya serangan cyber melalui video conference.
Pakar IT Indonesia sekaligus Chairman lembaga riset CISSReC (Communication and Information System Security Research Center), Pratama Persadha, menjawab lontaran isu intersepsi dari Snowden. Melalui keterangan pers, Pratama menjelaskan bahwa Indonesia yang sedang merintis pembangunan e-Government benar-benar harus serius menanggapi peringatan dini dari Edward Snowden.
"Cybercrime dan aksi intersepsi terus meningkat tiap tahun. Di Eropa yang notabene kesadaran IT security-nya sudah terbangun saja masih bisa kecolongan. Tahun 2014 kemarin misalnya, 40 % jasa keuangan di Jerman,menurut studi KPMG diserang kejahatan dunia maya. Indonesia harus bersiap diri mulai sekarang," kata Pratama Persadha melalui email.
Serangan cyber ini tidak hanya menyasar korporasi besar saja, bahkan usaha kecil menengah pun sudah menjadi target. Karena itu pengamanan data dan transmisi komunikasi menjadi sebuah kewajiban.
"Kata kuncinya adalah teknologi enkripsi untuk mengamankan sistem, data dan transmisi komunikasi. Ini yang harus diperkuat oleh sektor swasta maupun pemerintah sebagai upaya pencegahan," kata Pratama.
Pengamanan e-Government
Pemerintah saat ini sedang memulai program e -goverment disarankan oleh Pratama untuk memberi perhatian lebih pada enkripsi sistem yang dijalankannya. Jangan sampai data-data vital atau informasi penting dicuri pihak-pihak tak bertanggung jawab.
"Lebih bahaya lagi jika tidak hanya pencurian data yang terjadi, tapi sampai pihak luar menguasai sistemnya. Inilah mungkin yang disebut bencana cyber," kata Pratama.
Mantan ketua tim IT Kepresidenan Lembaga Sandi Negara ini menyebutkan pengamanan enkripsi pada seluruh unit yang terhubung dengan sistem e-government harus benar-benar kuat. Ada satu saja titik lemah di unit, departemen atau dinas tertentu yang bisa ditembus, maka keseluruhan sistem sudah dalam bahaya. Bukan hanya kecanggihan sistem saja yang dikedepankan dalam program e goverment, pengamanan data dan transmisi komunikasinya perlu menjadi prioritas.
"Negara maju seperti Amerika dan Eropa bahkan mengalokasikan dana besar demi mengamankan diri dari serangan Cyber. Obama misalnya mengalokasikan dana hingga 14 milyar dolar di tahun 2015 ini untuk pertahanan cyber," kata Pratama.
Pratama juga menyambut baik upaya pemerintah Indonesia yang juga sudah merintis pembentukan Badan Cyber Nasional untuk melindungi kepentingan nasional. Hal ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengamankan Indonesia dari serangan cyber.
"Selanjutnya lembaga ini perlu melibatkan berbagai elemen agar Indonesia benar-benar aman. Aparat lintas sektoral, akademisi, praktisi dan pakar perlu dirangkul. Ini pekerjaan besar. Wajib kita dukung," kata Pratama.
Bahaya serangan cyber dalam praktek E Government sudah divisualisasikan melalui fil Die Hard 3. Dalam film tersebut digambarkan ketika sistem IT sudah dikuasai pihak lain, kecelakaan lalu lintas, tabrakan pesawat, pembrangkutan Bank, semua bisa dikendalikan melalui keyboard saja.
(edi/dew)
Indonesia Butuh Pengamanan e-Government yang Ketat
Indonesia yang sedang merintis pembangunan e-Government harus serius menanggapi peringatan dini dari Edward Snowden.
Advertisement