Liputan6.com, Jakarta - Kedaulatan informasi menjadi isu penting di tahun 2015. Dalam gelaran IT terbesar dunia, CeBIT 2015, mantan kontraktor intelejen NSA (National Security Agency) Edward Snowden menyampaikan meningkatnya kegiatan pengintaian cyber disebabkan oleh semakin masifnya negara-negara menghimpun informasi dari internet. Snowden sendiri menjadi buruan Amerika Serikat karena membocorkan banyak kegiatan penyadapan terhadap negara lain dan warganya sendiri.
Kedaulatan informasi inilah yang dikritisi oleh CISSReC (Communication and Informaton System Security Research Center) sebuah lembaga nirlaba yang mengedukasi masyarakat untuk menjaga informasi. Dalam kajian CISSReC, pengguna internet di Indonesia lebih dari 80 juta orang. Tingginya aktifitas warga ini belum diimbangi keamanan yang memadai. Prasarana yang ada belum fokus pada keamanan para pemakai.
Baca Juga
"Contoh nyata adalah pencurian dana nasabah di tiga bank besar senilai Rp 130 miliar. Menurut Bareskrim POLRI, pelakunya adalah warga asing dari daratan Eropa. Modus yang dipakai adalah memberikan software palsu yang diinstal di komputer. Sehingga saat korban mentransfer, rekening tujuan dibelokkan ke rekening mereka," kata ketua CISSReC, Pratama Persada kepada Liputan6.com, Jumat (24/4/2015).
Advertisement
Sebagai narasumber tunggal dalam diskusi "Update Isu IT Security", Pratama Persadha menyampaikan bahwa pemerintah selayaknnya fokus dan serius menghadapi tantangan keamanan cyber yang semakin nyata. Bahkan pemerintah perlu mengambil sikap ekstrim dalam mewujudkan kedaulatan informasi di dunia cyber.
"Kedaulatan informasi di Indonesia bisa diwujudkan dengan industri IT lokal yang kompetitif. Selanjutnya pembangunan infrastruktur sistem informasi dan komunikasi menggunakan buatan lokal, serta memakai tenaga dalam negeri," kata Pratama.
Menurut Pratama, produk dalam negeri ini bisa lebih dipercaya dibanding produk asing.
"Bila sudah masuk pada hal sensitif dan penting, pemerintah sebaiknya memakai produk dalam negeri. Jangan sampai terulang kasus e-KTP," kata mantan Ketua Tim Pengamanan IT KPU ini.
Menurutnya kemampuan IT dalam negeri sudah jauh melampaui ekspektasi. Bahkan sejumlah negara eropa, amerika, dan timur tengah juga mengakui hal ini. Buktinya pada pertengahan Maret lalu 12 perusahaan Indonesia yang mengikuti CeBIT 2015 mampu mengagetkan sejumlah eropa. Kemampuan membangun teknologi informasi dan komunikasi anak bangsa ini jauh melampaui kemampuan negara-negara eropa. Karenanya Pratama meminta agar pemerintah memberi ruang dan mendorong industri IT lokal berkembang.
"Jangan sampai gegap gempita dunia cyber Indonesia malah dinikmati asing karena semua layanan dan infrastruktur mereka yang kuasai," kata Pratama.
Kontrol Konten
Kontrol konten di internet dianggap perlu dilakukan bagi masyarakat Indonesia. "Peristiwa pembunuhan PSK di Tebet misalnya, itu karena Twitter tidak aktif menutup akun berbau pornografi, hanya menunggu laporan. Semisal ada media sosial lokal, saya yakin konten mesum akan ditutup dan diblokir," kata Pratama yang juga pernah menjadi ketua Tim Pengamanan IT Kepresidenan.
Ditambahkan bahwa kedaulatan informasi bukan hanya masalah data penting itu aman, tapi negara juga harus bisa mengontrol dan mengarahkan konten yang positif. Namun kontrol itu tak boleh merampas kebebasan berpendapat.
Keberadaan Badan Cyber Nasional juga dipandang penting dalam mewujudkan kedaulatan informasi. Salah satu tugas BCN yang cukup penting menurut Pratama adalah menghasilkan teknologi algoritma enkripsi yang kuat dan aman.
"Bila BCN bisa menghasilkan enkripsi yang bagus, itu bisa digunakan untuk berbagai hal. Seperti pengamanan ujian nasional berbasis komputer maupun online. BCN juga bisa membantu pemberantasan narkoba di Indonesia, agar komunikasi aparat tidak mudah disadap oleh para bandar," kata Pratama.
Dalam kesempatan yang sama Pratama juga menyoroti pentingnya kesiapan IT KPU dalam menghadapi pilkada serentak. Menurutnya, KPU harus mempersiapkan level keamanan tertinggi pada sistem informasinya agar hasilnya valid dan tidak bisa dimanipulasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
(Edhie/dhi)