Sukses

Meski Diklaim Aman, Obat-Obatan Hasil 3D Printing Tetap Berisiko

Teknologi 3D printing pada obat-abatan juga memungkinkan tersedia bagi orang-orang dengan niat jahat.

Liputan6.com, Jakarta - Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA), baru saja menyetujui perangkat medis termasuk prosthetic yang dicetak dengan printer 3D.

Obat baru yang dijuluki Spritam, dikembangkan oleh Aprecia Pharmaceuticals untuk mengontrol kejang yang disebabkan oleh epilepsi adalah salah satu obat yang dicetak printer 3D.

Perusahaan itu mengatakan bahwa mereka berencana untuk mengembangkan obat-obatan lain menggunakan teknologi 3D printing miliknya.

Menanggapi hal tersebut, Global Research & Analysis Team, Kaspersky Lab, David Emm mengatakan metode produksi terbaru ini memungkinkan pembuatan obat-obatan dengan dosis yang tepat serta kombinasi obat dapat diproduksi untuk kasus-kasus tertentu. Namun, seperti halnya teknologi baru, pastinya akan ada kemungkinan dampak negatif dari hal ini.

"Seperti yang kita ketahui bahwa teknologi ini semakin mudah didapatkan, di satu sisi menawarkan banyak manfaat, maka di sisi lain ada kemungkinan hal tersebut dapat dieksploitasi untuk membuat hal-hal yang berbahaya. Ini mungkin hanya berlaku di industri obat-obatan," ujar David melalui keterangan resminya, Jumat (21/8/2015).

Teknologi 3D printing jelas dirancang untuk membantu menghasilkan dosis dan kombinasi obat tertentu, tetapi dengan begitu, juga memungkinkan teknologi ini tersedia bagi orang-orang dengan niat jahat.

Saat ini obat-obatan diproduksi di lokasi yang dirancang khusus dengan kontrol dan peraturan yang ketat. Namun, jika perangkat yang digunakan untuk melakukan hal ini di masa depan memiliki konektivitas internet, itu meningkatkan kemungkinan penyerang mengubah formulasi obat yang dicetak untuk membahayakan orang-orang yang meminumnya.

Internet of Things, atau yang saat ini cenderung disebut sebagai sejumlah perangkat terkoneksi internet, telah membuat hidup kita jauh lebih mudah dan lebih praktis.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak adanya potensi perangkap, dimana perangkat yang terkoneksi internet tentunya memiliki dampak langsung pada kesehatan dan keselamatan.

"Kontrol yang ketat dan pemeriksaan harus diterapkan, untuk mencegah gangguan berbahaya atau tidak disengaja," tutup David.

(isk/dhi)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini