Liputan6.com, Jakarta - Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) tidak hanya terjadi di ranah offline, tetapi juga online (internet). Kategori ESKA sendiri meliputi perdagangan seks anak, pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, serta dalam beberapa hal termasuk perkawinan anak.
Salah satu organisasi yang menentang ESKA di Tanah Air adalah ECPAT Indonesia. Menurut Program Manager ECPAT Indonesia, Andy Ardian, kasus anak yang menjadi korban eksploitasi seks dan diperdagangkan semakin mengkhawatirkan setiap tahunnya. Terlebih lagi, para pelaku termasuk pedofil, telah merambah internet untuk mendapatkan dan menjerat korban.
Para pelaku eksploitasi anak, kata Andy, sudah bukan rahasia lagi menggunakan layanan internet seperti media sosial untuk mendapatkan korbannya. Bahkan, ada beberapa diantaranya yang memiliki layanan online khusus untuk melancarkan aksi bejat tersebut.
"Eksploitasi anak dari sisi seksual kini banyak ditemui di internet, dan banyak yang menggunakan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Tapi memang pola penggunaan media sosial berbeda di setiap daerah," tutur Andy, yang juga selaku Koordinator kolektif ID-COP.
Perbedaan tersebut, jelas Andy, tergantung  media sosial apa yang populer di suatu daerah. Misalnya saja Facebook yang lebih popular di daerah, sedangkan Twitter lebih banyak digunakan di kota besar seperti Jakarta.
Ia pun mengimbau pemerintah dan pihak keluarga untuk lebih sigap dalam mengatasi masalah eksploitasi seksual terhadap anak. Semakin dini, maka akan semakin baik bagi masa depan anak nantinya.
"Masalah ini cukup besar, sehingga dibutuhkan upaya konkrit. Semua pihak harus bekerjasama, termasuk pemerintah dan keluarga. Dalam hal ini, orangtua mau tidak mau harus belajar untuk mengikuti perkembangan anak termasuk teknologi, sehingga mereka lebih cepat tanggap mengenai isu-isu seperti ini," pungkasnya.
(din/dhi)