Liputan6.com, Jakarta - Perang asimetrik bukan cuma ancaman, karena sebenarnya sudah terjadi. Pencurian informasi dan saling ancam antar negara mewarnai hubungan diplomatik dewasa ini. Dalam usianya yang ke-70, TNI diharapkan mampu menjadi salah satu garda terdepan penjaga kedaulatan wilayah NKRI.
Demikian pemikiran yang mengemuka dalam diskusi terbatas di lembaga kajian keamanan cyber, CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) dalam menyambut Hari TNI ke 70, yang diisi pembicara tunggal peneliti dan pakar IT Pratama Persada, Senin (5/10/2015) di kantor CISSRec.
Dalam materinya, Pratama memantik diskusi bahwa saat ini TNI juga dihadapkan pada realita bahwa kini tak hanya wilayah darat, laut, dan udara yang menjadi ajang peperangan. Adalah wilayah cyber yang di era seba digital ini membutuhkan perlakuan khusus, utamanya untuk membangun pertahanan cyber nasonal yang andal.
Dalam keterangan resminya, Pratama yang juga menjabat sebagai ketua lembaga riset keamanan cyber CISSReC menjelaskan bahwa TNI punya peran sangat krusial dalam membangun pertahanan cyber. Terutama terkait SDM dan alutsista yang dimiliki akan sangat membantu terwujudnya Badan Cyber Nasional yang kuat.
"TNI punya alutsista yang juga terkait dunia cyber. Namun yang lebih penting, urusan pertahanan secara makro, TNI sangat menguasai. Karena itu membangun pertahanan cyber, TNI wajib dilibatkan," jelasnya.
Ditambahkan bahwa penting bagi TNI ikut serta dalam pembentukan sistem pertahanan cyber yang kuat. Wilayah darat, laut, dan udara yang selama ini menjadi area tugas TNI nyatanya kini juga tak lepas dari ancaman serangan cyber.
"TNI mempunyai banyak alutsista, yang harus diakui sebagian besar berasal dari luar negeri. Untuk menjamin keamanan cyber jangka panjang, TNI harus diperkuat dengan peralatan buatan dalam negeri dan juga diperkuat kemampuan pertahanan cyber-nya," kata Pratama.
Bisa dibayangkan bagaimana berbahayanya bila peralatan komunikasi maupun senjata yang terintegrasi satu sama lain ini bisa disadap dan diinflitrasi negara lain. Tidak hanya informasi penting yang bisa dicuri, namun dengan remote dari jarak jauh, senjata yang ada bisa saja tidak berfungsi.
"Saat ini kita memasuki perang asimetrik, dimana perebutan dan pencurian informasi strategis menjadi kunci utama menangnya sebuah negara. AS berhasil masuk ke Iraq misalnya, tentu dengan bantuan alat dan intelejen canggihnya dalam mengambil serta mengamankan informasi agar sampai ke tujuan," kata Pratama.
Kini dengan anggaran kurang lebih Rp 120 triliun TNI diharapkan terus melakukan pembaruan alutsista dan juga penguatan kekuatan cyber mereka. Peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur cyber di tubuh TNI niscaya akan banyak membantu dalam menghadapi perang asimetrik ini.
Menurut Pratama, infrastruktur bisa dibeli dari dalam maupun luar negeri, namun juga tak menutup kemungkinan menerima hibah negara lain.
"Soal perangkat militer hibah dari luar negeri sebenarnya tidak ada masalah. TNI hanya perlu melakukan screening ulang untuk mengecek apakah ada hardware maupun software yang ditanam untuk menyadap maupun melakukan kontrol jarak jauh," pungkas Pratama yang sebelumnya menjabat sebagai Plt Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara ini.
(Edhie Prayitno Ige/isk)
Pakar IT: TNI Harus Siap Masuk Perang Asimetrik
Dalam usianya yang ke-70, TNI diharapkan mampu menjadi salah satu garda terdepan penjaga kedaulatan wilayah NKRI.
Advertisement