Liputan6.com, Jakarta - Penyebaran ponsel yang pesat ternyata masih belum cukup untuk membuat perempuan mengakses internet atau untuk memberdayakan perempuan dengan teknologi. Begitulah hasil penelitian terbaru yang dilakukan Web Foundation bersama dengan LSPR di Jakarta.
Survei menunjukkan, 36% warga berpenghasilan rendah di kota Jakarta menggunakan internet, termasuk 50% laki-laki dan 31% perempuan yang disurvei. Hambatan terbesar bagi perempuan adalah rendahnya tingkat literasi internet dan tingginya biaya untuk mengakses internet.
Penelitian ini didasarkan pada survei terhadap ribuan warga miskin perkotaan baik laki-laki maupun perempuan di sembilan (9) negara berkembang. Dari survei terungkap bahwa hampir semua perempuan dan laki-laki memiliki ponsel, namun perempuan memiliki kemungkinan 50% lebih rendah untuk mengakses internet dibandingkan laki-laki di komunitas yang sama.Â
Dan hanya 37% perempuan yang disurvei mengaku menggunakan internet. Bahkan, perempuan yang telah mengakses internet memiliki kemungkinan 30-50% lebih rendah dibanding laki-laki untuk menggunakan internet untuk meningkatkan penghasilan mereka atau berpartisipasi di ranah publik.
Berikut sejumlah temuan survei yang mengejutkan yang terdapat di Jakarta:
-- Kurang dari 30% pengguna internet perempuan menggunakan internet untuk mencari informasi penting tentang hak mereka (hak kesehatan, reproduksi, dan hukum).
-- Separuh pengguna internet perempuan telah menggunakan internet untuk mencari kerja, dan internet berpotensi besar untuk membantu pemberdayaan ekonomi perempuan.
-- Platform online paling populer bagi perempuan maupun laki-laki adalah Facebook, namun sebagian besar pengguna internet tidak pernah membuka tautan (link) ke website atau platform lain yang disediakan.
"Masih panjang jalan yang harus ditempuh sebelum seluruh masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan potensi TIK (teknologi informasi komunikasi) secara maksimal. Jalan tersebut bahkan lebih panjang bagi anak perempuan dan perempuan warga penghasilan rendah di kota," kata Wakil Direktur ICT Watch, Widuri.
Widuri menambahkan, di Indonesia, tidak satupun kebijakan TIK, maupun Rencana Broadband Nasional, yang menyebutkan secara khusus tentang gender atau promosi akses perempuan kepada internet dan TIK.
"Selain menerapkan target-target konkret untuk akses perempuan, pemerintah harus meningkatkan inisiatif pendidikan publikuntuk meningkatkan literasi digital melalui program-program pelatihan dan pembangunan kapasitas," katanya lagi.
Apa hambatan terbesar mengakses internet?
Apa hambatan terbesar mengakses internet?
Di seluruh kota yang diteliti, para perempuan yang disurvei mengatakan bahwa kurangnya pengetahuan dan tingginya biaya merupakan dua hambatan terbesar bagi mereka untuk mengakses internet.
Dibandingkan laki-laki, perempuan berpeluang 1,6 kali lebih tinggi mengatakan bahwa penghambat mengakses internet adalah kurangnya pengetahuan. Selain itu, harga satu gigabyte data setara dengan 76% pendapatan bulanan masyarakat di garis kemiskinan di negara-negara yang diteliti.
Lebih lanjut disebutkan, akses perempuan terhadap pendidikan adalah salah satu faktor utama yang menentukan tingkat penggunaan internet oleh mereka. Dengan asumsi variabel lainnya tetap, perempuan miskin kota dengan tingkat pendidikan setidaknya SMP enam kali lebih mungkin mengakses internet dibandingkan perempuan miskin kota dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Kota-kota dengan tingkat kesenjangan gender dalam pendidikan yang tertinggi seperti Nairobi (Kenya), Kampala (Uganda), Maputo (Mozambique), dan Jakarta (Indonesia) juga merupakan tempat-tempat di mana terdapat kesenjangan gender tertinggi dalam akses internet, sementara kesenjangan gender dalam akses internet telah berkurang di kota-kota di mana tingkat pendidikan perempuan melebihi laki-laki (New Delhi, India dan Manila, Filipina).
Kegiatan utama yang dilakukan perempuan berpenghasilan rendah di internet adalah menjaga hubungan keluarga dan tetangga sekitar dengan media sosial dan 97% pengguna internet laki-laki dan perempuan disurvei dengan menggunakan media sosial.
Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa hanya sedikit sekali perempuan pengguna internet yang disurvei yang benar-benar memanfaatkan potensi teknologi untuk memberdayakan diri mereka secara maksimal dengan mencari informasi, mengutarakan pandangan mereka tentang isu-isu penting atau mencari peluang ekonomi secara online.
Dengan asumsi variabel lainnya tetap, perempuan berpeluang 25% lebih rendah untuk menggunakan internet untuk mencari kerja dibandingkan laki-laki, dan berpeluang 52% lebih rendah untuk mengungkapkan pandangan mereka yang kontroversial di ranah online.
Akan tetapi, penelitian tersebut juga mengidentifikasi adanya sekelompok perempuan yang menjadi perintis dalam aktivitas digital. Perempuan yang aktif dalam kehidupan bermasyarakat di ranah offline berpeluang tiga kali lebih tinggi untuk mengungkapkan pendapat secara online tentang isu-isu penting dibandingkan yang tidak, dengan tetap memperhitungkan faktor pendidikan, usia dan pendapatan. Perempuan dengan latar belakang pendidikan SMP atau lebih tinggi berpeluang hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan yang berlatar pendidikan di bawah SMP untuk menggunakan internet untuk memajukan kondisi ekonomi mereka dan mencari informasi.
Temuan-temuan dalam kegiatan pendidikan dan kewarganegaraan menunjukkan bahwa perempuan yang telah memiliki status dan kekuatan dalam komunitas mereka jauh lebih mungkin menggunakan internet untuk meningkatkan posisi mereka.
Menurut Ingrid Brudvig, peneliti yang melakukan penelitian tersebut, untuk mencapai tujuan global PBB terkait pemberdayaan perempuan melalui TIK, tantangan utamanya adalah bagaimana teknologi dapat membantu mereka yang tidak memiliki status atau kekuatan untuk mengaksesnya.
Dalam penelitian tersebut diteliti pula prevalensi penyalahgunaan dan pelecehan melalui TIK dan berdasarkan temuan tersebut, peneliti meminta pemerintah dan penyedia layanan online untuk mengambil tindakan yang seharusnya untuk mengatasi hal-hal tersebut. Anak muda adalah kalangan yang paling mungkin mengalami pelecehan di ranah online. Sebanyak lebih dari enam dari 10 perempuan dan laki-laki berusia 18-24 tahun mengatakan pernah mengalami pelecehan online.
Anne Jellema, CEO Web Foundation mengatakan bahwa sebagian besar perempuan berpenghasilan rendah di kota bagaikan terkurung dalam suatu penjara TIK yang menghambat mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan diskriminasi gender yang sesungguhnya. Pemerintah harus menjadikan keterampilan digital sebagai hak setiap anak perempuan dan anak laki-laki sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk menyediakan pendidikan berkualitas untuk semua; bergerak lebih cepat untuk menurunkan biaya; dan mengembangkan strategi yang bertujuan meningkatkan kekuatan kewarganegaraan, politik dan ekonomi perempuan melalui teknologi.
Catatan: Survei ini dilakukan oleh Ipsos-Mori di sepuluh negara, yaitu Kamerun, Kolombia, Mesir, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Nigeria, Filipina, dan Uganda. Untuk Indonesia, survei dilakukan oleh Web Foundation bersama dengan LSPR.
(dew)
Advertisement