Sukses

Suka Duka Jadi Ilustrator Google Doodle

Tim Google Doodle mencurahkan seperti apa rasanya bekerja menjadi ilustrator yang 'ngebut' dengan deadline dan tekanan yang begitu tinggi.

Liputan6.com, Mountain View - Bagi sebagian pelamar yang menginginkan profesi engineer dan programmer, Google dianggap menjadi sebuah perusahaan yang menawarkan karier yang begitu menjanjikan.

Bahkan, saking tingginya minat pelamar yang ingin bekerja di perusahaan raksasa pencarian tersebut, Google sampai 'keranjingan' mendapatkan resume pelamar kerja hingga 2 juta surat lamaran. Pada kenyataannya, perusahaan yang berbasis di Mountain View, California itu hanya mampu menyaring 5.000 karyawan.

Bersama dengan perusahaan induknya, Alphabet, kini Google memiliki beberapa tim yang bekerja di bidang beragam dan tak hanya berkutat di pencarian saja.

Bidang tersebut melingkupi divisi robotik, automobile, dan life science. Menariknya, yang dinilai paling unik dari semua divisi yang bekerja di bawah payung Google adalah pekerjaan ilustrator Google Doodle.

Google Doodle memang dikenal sebagai salah satu ikon Google karena kerap menghadirkan ilustrasi tematik sesuai dengan momen yang berlangsung.

Sebut saja, baru-baru ini Google Doodle yang mampu memvisualisasikan komponis Beethoven sebagai apresiasi hari ulang tahunnya yang ke-245 pada 17 Desember 2015.



Pekerjaan ilustrator Google Doodle atau lebih sering disebut sebagai 'Doodler' ini sekilas sepertinya sangat menyenangkan. Namun, yang namanya pekerjaan pasti ada suka duka di mana sang ilustrator dituntut untuk memvisualisasikan doodle dengan sedemikian rupa, atau juga terpatok dengan deadline.

Lantas, bagaimana rasanya menjadi ilustrator untuk Google Doodle? Tim divisi Google Doodle pun membeberkan seperti apa suka duka yang dialami selama bekerja di divisi tersebut.

2 dari 3 halaman

Suka Duka

Menurut yang dilansir TIME, Senin (21/12/2015), Tim Google Doodle terbagi ke beberapa divisi kecil, seperti artist, designer dan engineer.

Jordan Thompson, engineer yang baru saja ditransfer ke divisi Google Doodle dari divisi lain mengatakan bekerja di Google Doodle sangat menyenangkan karena diberi kebebasan untuk berekspresi. Hanya saja, 'pressure'-nya lebih besar dibanding divisi lain.

"Sangat menyenangkan bisa menjadi bagian dari Google Doodle. Namun, pekerjaan ini menuntut kita untuk berhadapan dengan deadline yang sempit karena dalam waktu sebulan, banyak sekali momentum yang bisa divisualisasikan lewat doodle. Selain itu, kami dituntut untuk lebih kreatif dan berpikir secara out of the box," tutur Thompson.



Di sisi lain, Leon Hong selaku salah satu artist Google Doodle menjelaskan bahwa deadline bukan menjadi hambatan baginya. Ia mengungkapkan, deadline justru menjadi tantangan bagi tim agar bisa membuat sebuah evolusi doodle menjadi lebih berkarakter dan padat dengan unsur art yang begitu 'out of the box'.

"Sebagai seorang artist, mencoba menggambar sesuatu di atas kertas dengan time frame yang begitu terbatas merupakan tantangan bagi saya. Namun disitulah kami dituntut menjadi lebih interaktif untuk mencoba mendefinisikan segala sesuatu menjadi lebih simpel dan bermakna."

Lalu, bagaimana dengan skema kerjanya?

3 dari 3 halaman

Skema Kerja

Untuk skema kerja, Hong mengatakan bahwa tim Google Doodle akan mengurutkan momen yang terjadi di setiap bulannya, entah itu hari perayaan, hari libur nasional, ulang tahun tokoh dunia dan lain sebagainya. 

Setelah diurutkan, barulah dipilah untuk bisa dijadikan Doodle di halaman muka pencarian Google.

"Di situlah kami baru memilih topik yang sesuai, serta pilihan ilustrasi mana yang paling pas menggambarkan momen tersebut. Maksud dari pilihan ilustrasi di sini adalah 'rasa' yang ingin kami sampaikan, berdasarkan dari momen tersebut -- entah itu suku, gender, budaya, dan masih banyak lagi," tambah Hong.

Di samping semua suka duka bekerja menjadi Doodlers, tim Google Doodle merasa bahwa pekerjaan tersebut sangat menguntungkan.

"Bagian terbaik menjadi tim Google Doodle adalah kami serasa 'terbang' keliling dunia. Kami bisa melakukan riset topik yang berbeda, belajar budaya dari masing-masing negara, lebih ekspresif dan yang paling penting, keterampilan kami untuk menggambar di bawah tekanan lebih terasah," tutupnya.



(Jek/Isk)*