Liputan6.com, Jakarta - Selasa kemarin, 22 Desember 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Saat ini, status naskah RUU Revisi UU ITE memang tengah berada di tangan DPR RI. Senada dengan pernyataan yang dilontarkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, pembahasan naskah tersebut akan dilakukan sesegera mungkin di kuartal pertama 2016.
"Ya, itu (naskah RUU Revisi UU ITE) harus dibahas segera (pada kuartal pertama 2016). Sekarang, DPR lagi masa reses," ujar Rudiantara, saat ditemui tim Tekno Liputan6.com di Kantor Pusat Indosat Ooredoo, Jakarta, Rabu (23/12/2012).
Pria yang akrab disapa Chief RA itu mengatakan, revisi yang kini sedang berada di DPR tersebut akan meliputi perihal hukuman pidana yang dimulai dari enam tahun menjadi empat tahun.
"Pengurangan hukuman ini agar tidak dilakukan penahanan dulu, baru kemudian ditanya-tanya."Â
Selain itu ia juga meluruskan soal Pasal 27 ayat 3 yang menjadi delik aduan sehingga proses kasus tersebut akan dilakukan penyidik, jika ada laporan atau aduan dari pencemaran nama baik.
"Ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan disesuaikan sebagaimana proses yang diatur dalam hukum pidana. Ini dimaksudkan agar penerapan UU ITE sejalan dengan ketentuan yang ada di KUHAP," ‎tuturnya.
Untuk saat ini, naskah RUU revisi UU ITE telah diparaf oleh beberapa instansi terkait, Sehingga yang bisa dipantau pada saat ini hanyalah penantian bahasan antara pemerintah dan DPR RI mengenai UU ITE yang menunggu undangan dari DPR RI.
Baca Juga
Baca Juga
Seperti yang diwartakan sebelumnya, melalui surat bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015, Presiden Jokowi memang menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU ITE bersama DPR.
Revisi UU ITE ini, menurut Chief RA, merupakan komitmen pemerintah untuk merespons aspirasi masyarakat yang menghendaki perubahan atas sejumlah ketentuan yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat melalui sistem elektronik.
(Jek/Isk)
Advertisement