Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) akhirnya sudah masuk tahap pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Revisi ini sudah mulai masuk dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi I DPR pekan lalu. Namun, ternyata pembahasan UU yang dikenal memiliki pasal karet ini ternyata belum menemui titik terang.
Hal tersebut diungkapkan oleh organisasi masyarakat sipil, seperti Safenet, SatuDunia, dan praktisi hukum di Jakarta, Rabu (10/2/2016). Dalam temu media tersebut, DPR bahkan belum sepakat terkait perlunya revisi dari pasal karet UU ITE.
Program Manager Yayasan SatuDunia, Anwari Natari, mengatakan dalam pembahasan tersebut anggota Dewan ternyata tidak begitu mendengarkan aspirasi masyarakat terkait perlunya revisi UU ITE. "Nyatanya, banyak anggota Dewan yang malah bercerita tentang pengalaman mereka dihujat lewat media sosial," tutur Anwari.
Padahal, menurut dia, revisi ini diperlukan untuk menjamin kebebasan publik berpendapat. Sebab, kebebasan berpendapat di media sosial dapat menjadi kontrol publik terhadap hal yang dianggap menyimpang.
Baca Juga
Di sisi lain, senada dengan Anwari, Anggara, praktisi hukum sekaligus peneliti dari ICJR, juga menuturkan bahwa ancaman pidana yang ada di UU ITE sebaiknya dihilangkan. Sebab, hal itu sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Â dan itu dapat mencegah duplikasi UU.
"Tindak pidana sebenarnya sudah diatur di KUHP, harusnya tidak lagi perlu lagi dimunculkan di UU ITE. Misalnya, tentang pencemaran nama baik, sebenarnya itu sudah bisa ditangani lewat KUHP," ujar Anggara.
Sebagai informasi, UU ITE memang salah satu UU yang dianggap bermasalah dan mengancam kebebasan masyarakat sipil. Sebab, UU tersebut dinilai memiliki 'pasal karet' yang rawan disalahgunakan.
Safenet mencatat bahwa sudah ada 118 pengguna internet yang terjerat pasal karet dari UU ITE sejak 2008 sampai November 2015. Dan dari data tersebut, hampir 90 persen merupakan kasus defamasi atau pencemaran nama baik.
(Dam/Cas)