Sukses

AIPTI Desak Pemerintah Konsisten Soal TKDN

AIPTI meminta pemerintah konsisten soal aturan TKDN yang berlaku bagi perangkat ponsel yang digunakan di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) meminta pemerintah konsisten soal aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang berlaku bagi perangkat ponsel yang digunakan di Indonesia.

Ketua Umum AIPTI Ali Soebroto mengungkapkan, saat ini kapasitas industri ponsel di Indonesia melebihi 70 juta perangkat per tahun. 50 juta dari perangkat tersebut, kata Ali, diproduksi di bawah naungan asosiasi.

"Kebutuhan ponsel per tahun itu mencapai 70 juta perangkat. Pemerintah beberapa waktu lalu telah melakukan program lokalisasi ponsel yang dipoduksi di Indonesia," kata Ali dalam konferensi pers Perkembangan Industri Manufaktur Ponsel di Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (29/2/2016).

Ali menambahkan, melalui Permenkominfo No. 27 tahun 2015, ponsel berjaringan 4G LTE dijalankan dengan persyaratan TKDN.

Sebelumnya, kata Ali, di bawah Kementerian Perdagangan yang dipimpin Gita Wiryawan dan Kementerian Perindustrian yang dipimpin MS Hidayat pada 2013 juga pernah membatasi impor ponsel berjaringan 2G dan 3G yang mewajibkan vendor membangun pabrik atau bekerja sama dengan pabrik ponsel. Dengan demikian, dalam waktu tiga tahun, yakni 2016 semua ponsel 2G dan 3G sudah diproduksi di Indonesia.

Namun, Undang-undang yang dikeluarkan kedua menteri tersebut belum cukup mengisi kebutuhan ponsel Indonesia yang jumlahnya mencapai 70 juta per tahun itu.

"Ternyata hingga kini, utilisasi kapasitas produksi ponsel di dalam negeri masih rendah, sebab implementasi Permendag 38 dan 82 tidak berjalan seperti yang diharapkan," jelas Ali.

Ia menegaskan, salah satunya pemerintah saat ini justru cenderung memberikan kemudahan pada vendor untuk mengimpor barang jadi.

"Sehingga definisi TKDN untuk ponsel 4G dibuat bertambah kabur, terutama dengan munculnya lima skema tentang rancangan TKDN yang melibatkan perangkat hardware dan software," ujarnya.

Adapun kelima skema tersebut, di antaranya adalah skema 100 persen hardware, kedua 100 persen software, ketiga komposisi 75 persen hardware dan 25 persen software, keempat software dan hardware masing-masing 50 persen, dan kelima adalah hardware 25 persen dan software 75 persen.

Ali menambahkan, AIPTI mendesak pemerintah tidak menerapkan skema yang memberikan kelonggaran kepada vendor dalam mengisi software.

"Kalau hanya software, 100 persen diisi lokal tapi akan kesulitan untuk mengukurnya. Vendor juga tidak perlu mendirikan pabrik di Indonesia. Mereka masih tetap bisa mengimpor sebanyak-banyaknya," katanya.

Padahal, lanjut Sekretaris Jenderal AIPTI Hendry L Karosekali, saat ini, industri ponsel di Tanah Air menyerap puluhan ribu tenaga kerja dan investasi barang modal besar.

"Selain itu juga menyerap teknologi tinggi di bidang elektronika, digital, internet, software, dan telekomunikasi. Sudah banyak industri pendukung yang siap berinvestasi lebih banyak lagi. Namun, mereka terkendala dengan implementasi regulasi yang tidak konsisten. Padahal industri pendukung memberikan multiplier effect yang besar," katanya dalam kesempatan yang sama.

Hendry juga mengatakan, jika pemerintah tidak tegas, ekosistem industri ponsel yang telah menyangkut berbagai industri pendukung tersebut akan runtuh. Pada gilirannya, akan memunculkan masalah-masalah baru seperti PHK hingga matinya ekosistem industri yang berkembang itu.

Untuk itu, AIPTI meminta ketegasan pemerintah dalam mengatur TKDN. "Pemain-pemain industri ponsel yang hendak masuk ke Indonesia harus tunduk dengan ketegasan pemerintah. Karena ini demi melindungi industri perangkat telematika Indonesia," tegasnya.

(Tin/Isk)