Liputan6.com, Jakarta - Tak ada yang sia-sia dari sebuah usaha. Kata-kata itu diyakini oleh banyak orang, seperti yang dilakukan seorang dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Ika Dewi Ana.
Risetnya selama 11 tahun berbuah manis. Ia akhirnya berhasil menemukan graft tulang (tulang buatan) yang sesuai dengan tubuh manusia. Mengapa harus sesuai dengan tubuh manusia?
Berdasarkan Sumber Inspirasi Indonesia 20 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa yang diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan dikutip Tekno Liputan6.com, Minggu (5/6/2016), seperti halnya tulang, tak semua penanaman tulang gigi cocok dengan kondisi manusia.
Baca Juga
Misalnya, tulang gigi yang patah atau rusak butuh penanganan khusus. Untuk itu, dalam teknologi kedokteran gigi, mereka mengembangkan graft tulang yang berfungsi untuk menggantikan tulang yang rusak atau luka.
Ika mengatakan kebutuhan graft tulang cukup tinggi karena banyaknya kasus kerusakan gigi pada pasien. Karenanya, ia melakukan riset yang menghasilkan graft tulang yang sesuai dengan tubuh manusia.
Ia mengatakan, ada beberapa metode penggantian tulang yang luka. Misalnya mengambil tulang pada bagian tubuh pasien atau mengambil tulang milik tubuh orang lain.
Hasil riset ini selain memiliki keuntungan berupa kesesuaian dengan tubuh pasien, rupanya juga mengurangi ketergantungan terhadap impor graft tulang dari luar negeri yang harganya sangat mahal.
Berawal pada 2004, ketika Ika mengembangkan riset untuk pencangkokan tulang dengan karbonapatit berbahan utama mineral dan palimer. Bahan-bahan tersebut diproses untuk dibentuk menjadi identik dengan tulang manusia.
Adapun riset ini dilakukan setelah Ika mendapat kesempatan belajar pada dosen pembimbingnya, Profesor Kunio Ishikawa yang merupakan ahli semen apatit terkenal di dunia. Graft tulang yang berhasil ditemukan itu kemudian diberinama Gama-CHA.
Jika graft tulang yang selama ini pernah ada diproses pada suhu tinggi di atas 800 derajat Celcius, ketika diaplikasikan, suhu tinggi tersebut tak sesuai dengan proses fisiologis tubuh. Sementara, Gama-CHA atau graft tulang yang ditemukan Ika justru diproduksi pada suhu biomimetik, yakni sesuai dengan suhu tubuh manusia.
"Graft tulang yang pernah ada di dunia sebelumnya hanya mirip dengan tulang, bukan apatit tulang. Apabila ada pasien yang operasi dengan graft tulang impor, dalam jangka waktu tertentu bila dibuka akan tersisa. Dan tidak terbentuk tulang baru di daerah operasi," jelasnya.
Percepat Pertumbuhan Tulang
Lain halnya dengan graft tulang Gama-CHA yang identik dengan tulang manusia serta mempercepat pertumbuhan tulang.
Hingga kini, hasil riset Gama-CHA telah diujicobakan di Jakarta, Bekasi, Bandung, Mojokerto, Pontianak, Surabaya, Mataram, Denpasar, Jember, Yogyakarta, dan sejumlah kota/kabupaten lainnya.
Dalam melakukan ujicoba, pihak UGM bekerja sama dengan asosiasi cabang Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Hasil uji coba menunjukkan pemberian graft pada gigi yang luka atau rusak rupanya mempercepat pertumbuhan tulang karena adanya pertumbuhan jaringan.
Gigi yang mulanya goyang dan harus dicabut ternyata bisa diselamatkan dengan graft tulang. Tak hanya itu, pertumbuhan tulang yang cepat ini juga menjadikan gigi tetap utuh.
Kini, teknologi ini menambah wawasan para dokter gigi di daerah. Sehingga, secara estetika pasien tidak akan kehilangan gigi asli.
Ika menambahkan, graft tulang gigi Gama-CHA bisa bersaing dengan graft tulang dari luar negeri lantaran harganya jauh lebih murah.
"Harga graft tulang dari luar sangat mahal, mencapai Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta per 1 mL. Dengan akspek fisis, mekanis, kimiawi, serta biologi yang lebih unggul dari produk lain, harga Gama-CHA hanya 20-30 persen dari produk lainnya sehingga bisa hemat 70-80 persen dari graft tulang impor," katanya.
Saat ini Gama-CHA telah dipatenkan dan dikomersialisasikan di bawah PT Swayasa Prakarsa, anak usaha PT Gama Multi Usaha Mandiri yang merupakan holding company milik UGM di bidang obat-obatan dan alat kesehatan.
Produk Gama-CHA telah mendapatkan registrasi dari Kementerian Kesehatan pada 2014 dan diedarkan oleh PT Kimia Farma. Bukan hanya itu, yang membanggakan, kabarnya tulang buatan ini bakal diekspor ke negara-negara ASEAN, Timur Tengah, dan Afrika.
"Graft tulang Gama-CHA juga telah mendapatkan sertifikasi halal MUI pada 23 Oktober 2013. Hingga 2015 produksi Gama-CHA telah mencapai 30 ribu unit," kata Ika.
Prestasi ini membuatnya terpilih menjadi President Bioceramics ke-27 di Barcelona, Spanyol pada 2004. Pada tahun yang sama, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan lima kementerian lainnya menetapkan Ika Dewi Ana sebagai penerima Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa pada 2014 untuk kategori invensi (paten).
Bagaimana menurut Anda, hebatnya riset di Indonesia tak kalah kan dengan penelitian luar negeri?
(Tin/Cas)
Advertisement