Sukses

Kejahatan Siber Serang Sektor Bisnis di Negara Berkembang

Kerugian akibat peretasan dan kejahatan siber tak hanya berpengaruh dari sisi teknologi tetapi juga kerugian finansial.

Liputan6.com, Singapura - Negara berkembang rupanya menjadi target utama dari kejahatan siber atau cyber crime.

Senior Attorney & Regional Director of Microsoft Digital Unit Asia Region, Keshav Dhakad, mengungkap hal ini terjadi karena rata-rata pengguna internet baik korporasi, pemerintah, maupun individual belum paham benar akan pentingnya keamanan siber.

Padahal, menurut Dhakad, kerugian akibat peretasan dan kejahatan siber tak hanya berpengaruh dari sisi teknologi tetapi juga kerugian finansial yang nilainya tak terhingga.

Misalnya, kasus peretasan pada Bank Sentral Bangladesh beberapa waktu lalu yang menimbulkan kerugian mencapai Rp 1 triliun.

Bahkan menurut data Microsoft Malware Protection Center (MMPC) dan Microsoft Security Intelligence Report, angka kerugian akibat aktivitas kejahatan siber mencapai sebesar US$ 3 triliun. Sedangkan korbannya diperkirakan berjumlah 556 juta orang per tahun.

Dipaparkan pula, pada 2014 terjadi peningkatan kejahatan siber yang menyerang perusahaan hingga 458 persen. Dhakad menilai bahwa semua sektor bisnis dapat menjadi target kejahatan siber. 

"Semua industri bisa menjadi target hacker. Perbankan, telekomunikasi, media, pemerintahan, hingga layanan penyedia kesehatan bisa menjadi target serangan peretasan," katanya ditemui tim Tekno Liputan6.com di Kantor Microsoft Singapura, Selasa (7/6/2016).

Pada industri perbankan, target serangan para hacker adalah data keuangan. Lalu bagaimana dengan layanan kesehatan? Banyak informasi pribadi pasien yang diperoleh dari peretasan. Data pribadi ini pun pada akhirnya digunakan untuk mengambil kekayaan pemilik data.

Lebih lanjut, ia mengatakan para pelaku kejahatan siber kini memiliki keahlian yang tinggi dan canggih sehingga bisa mengakses data perusahaan, pemerintah, dan juga individual. Bahkan, para peretas bisa menghilangkan data yang telah diambil dari pemiliknya.

Tak hanya itu, pria yang bergabung dengan Microsoft sejak 2007 ini bertutur para peretas bisa merancang malware agar sesuai dengan informasi yang ingin diretasnya. Dengan meningkatnya keahlian para peretas, mereka hanya butuh waktu singkat untuk mendapatkan data yang ditarget.

"Sementara, perusahaan butuh 200 hari lebih untuk menyadari bahwa sistemnya telah diretas, ujar Dhakad.

Untuk menghindari cyber crime diperlukan teknologi yang tepat. Microsoft sendiri selama bertahun-tahun telah fokus menghadirkan sistem keamanan berinternet melalui Microsoft Digital Crime Unit (DCU).

"Selama ini, orang lebih mengenal Microsoft dengan Windows Office. Padahal kami juga memiliki fokus pada bidang keamanan," kata Dhakad.

Microsoft sebagai penyedia sistem keamanan bekerja sama dengan berbagai perusahaan atau lembaga penegak hukum, serta pemerintah untuk menangani kejahatan siber.

Selain itu, Microsoft berkomitmen menciptakan keamanan sebagai upaya membangun kepercayaan konsumen dengan menghadirkan Cybercecurity Center (CSC) guna memberantas kejahatan siber di Korea Selatan dan Singapura.

Keduanya adalah perpanjangan tangan dari Microsoft Digital Criminal Unit di Redmond USA.

(Tin/Cas)