Liputan6.com, Jakarta - Kelangkaan energi merupakan salah satu masalah pelik yang dihadapi manusia saat ini. Oleh sebab itu, tak sedikit peneliti yang mengembangkan beragam energi alternatif untuk mengatasinya.
Salah satu peneliti yang juga melakukan penelitian tersebut adalah Pudji Kuntoro dan Arbi Dimyati dari Universitas Surya. Keduanya memilih untuk mengembangkan energi alternatif bioetanol.
Sebenarnya, ada beberapa bahan untuk dijadikan bioetanol seperti singkong, sorgum, nira, dan tebu. Namun, Pudji memilih membuat bioetanol untuk genset dari tanaman sorgum.
Sorgum dipilih karena batang tanamannya tersebut rasanya manis. Bijinya juga bisa digunakan untuk pakan ternak.
Di satu sisi, untuk menciptakan bioetanol yang bisa tercampur dengan bensin, kadar bioetanol tersebut harus 99 persen atau kadar tertinggi.
"Untuk membuat bioetanol kadar tertinggi agak sulit. Bioetanol yang saya buat ini membutuhkan konverter agar bisa tercampur dengan bahan bakar minyak dan tercipta pembakaran sempurna," ujar Pudji, seperti dikutip dari Kumpulan 20 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa yang dirilis Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi 2015, Minggu (12/6/2016).
Konverter tersebut berfungsi untuk membuang air yang ada, sebab kandungan air dalam bioetanol dapat membuat mesin cepat rusak. Pudji sendiri sudah melakukan riset ini sejak 2009.
Pudji juga mengembangkan konverter yang dapat dipasang di knalpot. Pemasangan dilakukan agar pembakaran energi dari bioetanol dapat menciptakan gas kering yang keluar dari knalpot.
Genset bioetanol
Selain knalpot, konverter tersebut juga dapat digunakan pada genset. Adapun genset yang digunakan merupakan buatan Surya Research dan Education Center (SURE) Indonesia.
Alat itu dapat beroperasi menggunakan bahan bakar alkohol, seperti bioetanol bahkan dengan kadar rendah hingga 85 persen.
Komponen genset bioetanol ini pada dasarnya hampir sama dengan genset biasa yang terdiri dari karburator, moto bakar, dan generator.
Namun, genset buatan SURE ini memiliki reaktor di antara karburator dan inlet manifold yang berfungsi mengubah bioetanol menjadi gas yang mudah terbakar di dalam ruang tertutup.
Baca Juga
Proses pengolahan bioetanol dari sorgum menjadi energi alternatif pengganti solar membuat banyak daerah tertarik memanfaatkan teknologi tersebut. Salah satunya adalah Desa Ampas, Keerom di Papua.
Desa itu bahkan membuat lahan seluas dua hektar yang khusus ditanami sorgum. Kebutuhan akan bioetanol memang cukup tinggi di wilayah tersebut. Setidaknya dibutuhkan 40 liter bioetanol per hari.
Selain itu, Bupati Keerom memiliki komitmen agar ada tiga distrik di wilayahnya yang bisa mendapat penerangan listrik dari genset yang menggunakan energi bioetanol.
Satu distrik setidaknya membutuhkan 5500 watt, dengan 3000 watt untuk listrik pemukiman, sisanya untuk fasilitas umum.
Tak hanya kebutuhan masyarakat umum, Direktorat Pembekalan Angkatan Darat yang bermarkas di Cibinong juga menggunakan bioetanol dan genset tersebut. Pudji menuturkan tentara membutuhkan genset dengan bahan bakar yang bisa dibuat sendiri, terutama saat sedang bertugas.
(Dam/Ysl)
Advertisement