Sukses

Wah, Bos Alibaba Suka Barang Palsu Ketimbang Asli

Alasan Jack Ma, founder Alibaba melihat barang palsu lebih 'seksi' dari yang asli karena dinilai hampir memiliki kualitas yang sama.

Liputan6.com, Beijing - Pendiri Alibaba, Jack Ma, baru saja melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan. Pria terkaya di Tiongkok tersebut berpendapat bahwa barang palsu yang dijual eCommerce memiliki kualitas yang lebih baik dari yang asli.

Pandangan Ma tentu tidak disertai alasan kuat. Pria dengan kekayaan sebesar US$ 23,7 juta ini melihat bahwa banyaknya barang aspal alias asli tapi palsu yang berseliweran di eCommerce nyatanya lebih dicari pelanggan.

“Faktanya, produk palsu memiliki kualitas lebih baik. Harganya pun lebih terjangkau. Padahal, produk-produk ini berasal dari pabrik yang sama, serta menggunakan material yang juga hampir sama,” kata Ma sebagaimana mengutip CNBC pada Senin (20/6/2016).

Diketahui, sudah banyak brand kenamaan yang membuat produknya pada pabrik-pabrik yang berbasis di Tiongkok. Hal ini justru membuat para manufaktur lain 'mengimitasi' cara pembuatan produk yang begitu mendetail.

Alibaba pun menjalankan platform eCommerce Taobao yang diduga menjual banyak barang aspal. Melihat hal ini, Ma akan mencari solusinya. Tak mudah baginya untuk memberantas produk aspal yang dijual bebas di toko online dalam waktu yang sangat singkat.

"Kami harus melindungi properti intelektual, apapun akan dicoba untuk menghentikan barang palsu. Nah, masalahnya di sini para OEM malah membuat produk mereka sendiri dengan harga lebih baik," ia menambahkan.

Pada tahun lalu, perusahaan fashion asal Prancis, Kering (retailer produk mewah seperti Gucci dan Yves Saint Lauren) sempat menggugat Alibaba karena menduga telah mendorong penjualan produk bajak dan mengambil untung.

Alibaba bahkan sempat diperiksa oleh otoritas Tiongkok beberapa kali. Ma berdalih, Alibaba memberikan kontribusi besar bagi ekonomi Tiongkok sehingga mustahil untuk dihukum.

"Anda tak bisa menghentikan Alibaba sekalipun meski hanya dua jam. Jika itu terjadi, Tiongkok akan mendapatkan bencana besar,” imbuhnya.

Belum puas di situ, Ma menambahkan fakta di mana kini manufaktur asal Tiongkok tidak terlalu puas karena tenaga kerja mereka 'diperas' untuk menghasilkan produk berkualitas premium namun uangnya justru malah masuk ke pemilik brand.

Akibatnya, banyak yang membuat produk sendiri dan menjualnya di internet.

"Cara berbisnis bagi brand kini sudah berubah. Bukan barang palsu atau properti intelektual yang menghancurkan mereka. Justru model bisnis baru yang akan merevolusi seluruh dunia," pungkas Ma.

(Jek/Cas)