Sukses

'Operator Harus Bangun Jaringan, Baru Minta Interkoneksi Murah'

'Semua operator harus membangun jaringan secara nasional, baru setelah itu menuntut interkoneksi murah secara resiprokal'

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah disarankan untuk tegas dalam menetapkan penurunan biaya interkoneksi dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dari setiap operator.

“Akhir-akhir ini, isu interkoneksi murah yang diusung pemerintah ramai dibicarakan. Saya mengimbau agar pemerintah menugaskan operator memenuhi janji membangun jaringan sesuai lisensinya. Lisensi adalah kewajiban, bukan hak,” tegas anggota
Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional Garuda Sugardo, Selasa (28/6/2016) di Jakarta.

Menurutnya,  semua operator harus membangun jaringan secara nasional, baru setelah itu menuntut interkoneksi murah secara resiprokal.

“Begitu baru adil dan bijaksana. Jangan lupa, bahwa makna interkoneksi adalah 'siapa berbuat apa dan mendapatkan apa," tandasnya.

"Telkomsel yang membangun jaringan di seluruh pelosok Nusantara, pantas menikmati hasilnya secara sejahtera. Siapa yang membangun jaringan diirit-irit, pantaslah dapatnya sedikit,” sambungnya.

Garuda menambahkan, rahasia kekuatan Telkomsel sehingga bisa menguasai pangsa pasar lumayan besar karena konsisten dalam mengembangkan jaringan. 

Sebagai penguasa pasar, Telkomsel sejak dulu menerapkan strategi universal Retention, Penetrasi, dan Akuisis (RPA).

Retention berarti mempertahankan pelanggannya dengan program customer loyality. Penetrasi artinya merangsek pasar dengan penggelaran BTS ke segala penjuru. Dan Akuisisi, merebut pasar dengan cara membujuk pelanggan dari pesaing untuk berpaling.

“Dulu, Indosat punya dua kesempatan mengimbangi  Telkomsel, tapi disia-siakan. Pertama saat IM3 diluncurkan pada 2001. Kedua saat Satelindo merger dengan Indosat. Jumlah BTS dan pelanggan gabungan IM3 Indosat ditambah Matrix dan Mentari (Satelindo) sebenarnya hampir sama dengan Telkomsel," ujarnya.

Bila saja manajemen Indosat saat itu paham doktrin seluler dan menggeber bisnisnya, lanjut Garuda, pastilah kondisinya tidak 'kedodoran' seperti sekarang.

"Sayang, sebagian besar saham Indosat pada 2014 dijual ke investor asing, maka jadilah pusing. Nasi telah menjadi bubur,” tutupnya.

Seperti diketahui, salah satu pemicu perang terbuka antara Telkomsel dan Indosat adalah belum selesainya pembahasan biaya interkoneksi. Telkomsel meminta penurunan dengan mempertimbangkan komitmen pembangunan jaringan dan perhitungan berbasis biaya.

Sementara kubu Indosat menyakini biaya interkoneksi bisa turun lebih di atas 50 persen karena belanja jaringan makin murah.

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi mengingatkan, jika penurunan biaya interkoneksi terlalu besar akan terjadi fenomena operator 'ogah membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain'.

Cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya, mereka menderita kerugian karena dibayar di bawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga,” kata Ridwan. 

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

(Isk/Cas)