Liputan6.com, Jakarta - Dalam rentang waktu setahun terakhir ini, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat 11 aktivis dilaporkan ke polisi karena dituding melanggar pasal-pasal pidana di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Yang paling hangat, pelaporan Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) terhadap Koordinator ForBALI I Wayan “Gendo” Suardana pada Senin (15/8/2016). Pospera melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) telah melaporkan Gendo kepada polisi.
DPP Pospera menuduh Gendo telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 16 UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Laporan tersebut menyusul kicauan Gendo melalui akun @gendovara pada 19 Juli 2016 yang berbunyi, "Ah, muncul lagi akun2 bot asuhan pembina pos pemeras rakyat si napitufulus sok bela2 susi. Tunjukin muka jelekmu nyet."
Cuitan tersebut, mengacu pada keterangan resmi dari SAFENET yang kami terima, mestinya dilihat dari konteks lebih luas dan tidak berdiri sendiri. Pada saat itu, Gendo dalam kapasitasnya sebagai ketua ForBALI sedang mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membiarkan izin lokasi terhadap PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).
Baca Juga
Namun, kritik dengan tagar #KecewaAmaSusi itu kemudian dijawab akun-akun bot yang menggunakan tagar #BravoSusi. Karena itu, ia lalu mengekspresikan kekesalannya.
SAFENET menilai ekspresi kekesalan tidak bisa dipidanakan, sehingga dalam kaitan tersebut upaya hukum Pospera terhadap Gendo bisa dianggap sebagai upaya untuk membungkam suara aktivis yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali.
Sama halnya dengan pelaporan POLRI, BNN, TNI, dan Johnly Nahampun terhadap Koordinator KontraS Haris Azhar pada 2 dan 4 Agustus 2016. Pelaporan yang disebut telah membuat nama baik institusi tersebut tercemar juga bisa dinilai sebagai upaya untuk membungkam suara aktivis yang memersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE digunakan untuk menjerat kesaksian Haris Azhar, yang berdasarkan pada pengakuan Freddy Budiman. Upaya pemidanaan atas kesaksian tersebut dinilai SAFENET menghambat demokrasi.
Dua kasus ini merupakan secuil dari banyaknya aktivis yang telah dilaporkan ke polisi sejak UU ITE dilegalkan. Padahal, jika diperhatikan, apa yang disampaikan oleh mereka adalah bagian dari ekspresi mereka untuk memperjuangkan kebenaran. Atas dasar itulah, SAFENET menuntut 4 hal:
1. Mendesak Pemerintah Indonesia dan Komisi I DPR RI agar mencabut pasal-pasal UU ITE yang kerap dipelintir untuk membungkam demokrasi seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2, dan pasal 29 UU ITE.
2. Mendorong Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Indonesia untuk menolak pelaporan terhadap aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal UU ITE tersebut dan mendorong penyelesaian lewat mediasi sebagai alternatif pemidanaan.
3. Menyerukan pihak-pihak yang melaporkan aktivis-aktivis ini agar berhenti memelintir hukum terutama pasal-pasal UU ITE demi kepentingan sendiri yang jauh dari asas keadilan dan kebenaran.
4. Meminta perhatian Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Ekspresi David Kaye dan jaringan aktivis/organisasi pro kebebasan ekspresi di negara-negara di Asia Tenggara untuk bersolidaritas dan membantu mengawasi proses demokrasi di Indonesia yang semakin terjerat pasal-pasal UU ITE ini.
(Why/Isk)