Sukses

Tarif Interkoneksi Turun, Operator Milik Negara Bakal Rugi

Penurunan tarif ini akan berdampak langsung dan tak langsung terhadap pendapatan operator telekomunikasi dominan (incumbent) milik negara

Liputan6.com, Jakarta - Mulai 1 September, tarif interkoneksi baru sebesar Rp 204 akan mulai diterapkan. Sesuai dengan Surat Edaran No. 1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016, tarif interkoneksi baru ini berlaku hingga Desember 2018.

Awalnya, tarif interkoneksi ditetapkan sebesar Rp 250. Kemudian, Kementerian Komunikasi dan Informatika menurunkan tarif tersebut rata-rata 26 persen menjadi Rp 204 untuk 18 skenario panggilan telepon tetap dan seluler.

Bagi M Ridwan Effendi, Sekjen Kajian Telekomunikasi ITB, penurunan tarif ini akan berdampak langsung dan tak langsung terhadap pendapatan operator telekomunikasi dominan (incumbent) milik negara, yakni Telkom Group.

Ia memerhitungkan potensi kerugian yang dapat dialami Telkom, selaku induk usaha Telkomsel yang merupakan operator seluler terbesar di Indonesia dengan jumlah 152,6 juta pengguna. 

"(Semisal) pendapatan layanan interkoneksi Telkom sekitar 6 persen atau Rp 5 triliun dari total pendapatannya Rp 86 triliun. Kalau tarif interkoneksi turun 26 persen, mereka bisa kehilangan Rp 1,3 triliun," ujar Ridwan ditemui di SCBD, Kamis (18/8/2016).

Kerugian di atas adalah dampak langsung dari penurunan tarif interkoneksi. Sementara dampak tak langsungnya bisa 10 kali lipat lebih besar dari nilai tersebut, yakni hampir Rp 15 triliun.

"Bentuk dampak tak langsung itu dari penerimaan pajak, penurunan saham, dan meningkatnya biaya operasional untuk pemeliharaan jaringan operator," ungkapnya.

(Ki-ka) Pakar Telekomunikasi di ITB, Ian Josef Matheus dan Sekjen Kajian Telekomunikasi di ITB, Ridwan Effendi ditemui di Jakarta, Kamis (18/8/2016). Liputan6.com/Corry Anestia
Pasalnya, tarif baru yang ditetapkan menganut konsep simetris. Di sini operator dominan maupun operator kecil akan dikenakan perhitungan tarif yang sama.

Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB, Ian Joseph Matheus menambahkan bahwa penerapan tersebut tak adil karena setiap operator menghabiskan investasi jaringan berbeda-beda.

"Ada operator yang bangun di kota saja, ada yang sampai ke pelosok. Investasinya kan beda-beda. Ini (tarif, red.) tidak bisa dijalankan. Pemerintah harus buka bagaimana perhitungannya kok bisa keluar tarif Rp 204," tutupnya.

(Cas/Why)