Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menetapkan biaya interkoneksi sebesar Rp 204, turun 26 persen dari sebelumnya Rp 250. Biaya ini akan diterapkan secara simetris atau merata untuk operator dominan maupun operator minoritas.
Sebagian pihak menyatakan oposisinya terhadap keputusan pemerintah tersebut. Pasalnya, hal ini dianggap tak adil dan seimbang.
M Ridwan Effendi, Sekjen Kajian Telekomunikasi di ITB, menilai seharusnya pemerintah menetapkan biaya interkoneksi secara asimetris dengan mengacu pada basis biaya (cost based).
Cost based ini memperhitungkan investasi (capex) dan biaya operasional yang dihabiskan operator untuk membangun jaringan.
Yang menjadi masalah, investasi tiap operator berbeda-beda karena komitmen pembangunan jaringan antaroperator tidak seragam. Akibatnya, cakupan jaringan (network size) yang dibangun operator berbeda-beda.
Ia mencontohkan ketidakseragaman komitmen pembangunan; operator A berkomitmen membangun BTS 1.000 unit, tetapi dapat terkena denda karena hanya terpenuhi 900 BTS.
Baca Juga
Sementara operator B yang komitmen pembangunan BTS 500 unit, ternyata mampu membangun lebih dari jumlah itu, yakni 900 unit.
"Bagi operator yang cakupan jaringannya rendah, perhitungan (formula) cost based jadi rendah juga. Ini akan menguntungkan mereka, padahal prinsip interkoneksi adalah cost based atau tidak boleh ambil untung," katanya ditemui tim Tekno Liputan6.com di Jakarta, Jumat (19/8/2016).
Komitmen pembangunan jaringan harus dipenuhi operator saat mereka mendapatkan modern licensing. Dalam komitmen ini, operator wajib membangun jaringan untuk skala nasional.
Ridwan kemudian membandingkan kondisi di luar negeri apabila pemerintah tidak memenuhi kewajiban pembangunan jaringan. "Di luar negeri, ada penalti bagi operator yang tidak memenuhi kewajiban tersebut," tambahnya.
Diungkapkan, negara-negara di Eropa justru menetapkan biaya interkoneksi dengan konsep simetris, padahal Eropa dan Asia memiliki komitmen pembangunan jaringan yang sama. Hal ini karena network size operator di Eropa sudah sama.
"Formula biaya asimetris itu bergantung pada luasan jaringan, tapi tidak boleh ada yang ambil untung. Kalau simetris, operator yang network cost-nya murah berpotensi dapat untung. Makanya, luasan jaringan harus sama dulu baru pemerintah bisa terapkan simetris," paparnya.
Salah satu operator yang oposisi terhadap penetapan tarif tersebut adalah Telkomsel yang notabene adalah operator dominan di Indonesia.
Kendati begitu, Ridwan justru menilai bahwa Telkomsel tidak dominan karena sejak awal anak usaha Telkom ini mendapat modern licensing untuk membangun jaringan secara nasional.
"Telkomsel tak mau turun (biaya) interkoneksi karena mereka ada kewajiban untuk deliver jaringan sampai pedalaman. Lagipula, ada wilayah di mana Telkomsel tidak masuk ke situ atau medominasi kan." Tutupnya.
(Cas/Isk)