Sukses

Menkominfo Diimbau Tak Gegabah Tetapkan Biaya Interkoneksi

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara disarankan untuk tak gegabah dalam penetapan biaya interkoneksi.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara disarankan untuk tak gegabah dalam penetapan biaya interkoneksi yang digadang-gadang akan membuat industri telekomunikasi menjadi dirugikan.

Demikian salah satu benang merah hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara operator seluler dengan Komisi I DPR yang berlangsung pada Kamis (25/8/2016) kemarin di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta.

“Ini (Paparan operator) akan menjadi pertimbangan nanti kala pertemuan berikutnya dengan Kemkominfo. Cari win-win solution, jangan dicari solusi yang win banget. Masa gak bangun jaringan agresif, ada yang mau win banget, “ kata Anggota komisi I DPR RI Effendi MS Simbolon dalam RDPU.

Dalam RDPU hadir pula President Direktor/CEO XL Dian Siswarini, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys, President Director dan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, dan Wakil Presiden Direktur Tri PT Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah.
RDP Komisi I DPR RI bersama operator mengenai isu penurunan biaya interkoneksi, Kamis (25/8/2016)
Anggota Komisi I DPR lainnya, Evita Nursanty, melihat ada ketidakadilan bagi operator yang giat membangun jika biaya interkoneksi diterapkan dengan tidak obyektif melihat fakta di lapangan.

"Ada operator yang bangun segitu saja, terus minta hak yang sama. Ini tak adil," tegasnya.

Sedangkan anggota Komisi I DPR Irine Yusiana Roba Putri meminta adanya komitmen pembangunan infrastruktur dari operator yang pro penurunan biaya interkoneksi, terutama di Indonesia Timur.

"Ada operator minta biaya turun, tetapi ada komitmen tidak untuk bangun di Indonesia Timur. Kalau Telkomsel itu sudah jelas membangun BTS sampai daerah perbatasan dan itu biayanya besar," imbuhnya.

Belum Sepakat 

Direktur Utama Telkom Group Alex J Sinaga mengungkapkan, hingga saat ini belum ada kesepakatan soal angka Rp 204 untuk panggilan lokal seluler itu.

"Dua surat kami ke Menkominfo Rudiantara pun belum berbalas, padahal beliau sendiri yang sarankan kirim surat resmi jika keberatan,” ujarnya.

Melalui keterangan resminya, Jumat (26/8/2016), Alex menyebut ada beberapa hal yang belum disepakati dan menjadi keberatan dari Telkom Group sebagai operator dominan yang datanya digunakan dalam menghitung revisi biaya interkoneksi.

“Pertama, kami keberatan kenapa kembali ke simetris padahal dalam pembahasan dokumen whitepaper sudah mengarah ke asimetris dan data input regional dengan biaya nasional. Dulu (perhitungan yang lama) kami mengalah sepakat simetris karena dijanjikan di perhitungan 2016 akan asimetris, kok tiba-tiba balik ke yang lama. Kami sudah sering mengalah, sekarang tak bisa lagi. Kami akan menegakkan aturan, karena soal asimetris ini amanah aturan,” tukasnya.

Mengutip Surat DJPPI No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015 tanggal 15 Januari tentang permintaan pendapat terhadap konsep dokumen whitepaper Penyempurnaan Regulasi Tarif & Interkoneksi dinyatakan Peraturan Menteri No 8/2006, pada dasarnya mengatur perhitungan interkoneksi secara asimetris.

Pilihan perhitungan ini karena ingin membantu operator dalam pengembalian investasi yang harus dimanfaatkan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, perluasan jaringan, peningkatan kapasitas, dan kualitas layanan.

Dalam whitepaper itu juga dinyatakan data input biaya elemen jaringan berbasis regional dan menjumlahkan setiap biaya jaringan seluruh regional dengan trafik nasional agar dapat diperoleh perhitungan akurat dengan mempertimbangkan kondisi setiap wilayah Indonesia.

“Keberatan kedua kami adalah adanya perbedaan angka yang keluar antara hitungan sendiri dengan Kemkominfo. Hitungan kita harusnya Rp 285, sementara mereka Rp 204. Padahal, kita pakai rumus yang sama. Pemerintah tak pakai channel data rate yang ada,” ulasnya.

Diungkapkannya, Kemkominfo dalam menghitung menggunakan channel data rate 0,1 Mbps, sementara data komposisi pendapatan suara, SMS dan data, channel data rate-nya0,8 Mbps- 1,2 Mbps.

Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menambahkan, dalam menetapkan utilisasi jaringan geotype sub urban dan rural, pemerintah juga melakukan kesalahan di mana menganggap sudah tergunakan 80% di tahun 2018. Padahal, fakta di lapangan di area sub urban dan rural, utilisasi maksimal bervariasi 6,3%-20% di tahun 2018.
Kualitas layanan telekomunikasi operator seluler sedang banyak dikeluhkan oleh para pelanggannya.
Alex menegaskan, jika nantinya penurunan biaya interkoneksi dipaksakan di angka yang belum disepakati, artinya ada indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi mulai dari pasal 22 ayat 1, pasal 23 ayat 1 dan 2, serta pasal 37 ayat 2.

Inti dari semua pasal ini adalah biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama, dan adil.

“Kalau dari hasil perhitungan Kemkominfo, kami mengalami minus di sisi recovery cost karena dibayar dibawah biaya produksi. Belum lagi competitive advantage dari Telkomsel, seperti ditiadakan bukan oleh persaingan murni tetapi intervensi melalui regulasi. Ini tak sehat bagi kompetisi. Saya mohon Kemkominfo ikut pada aturan main yang berlaku,” tegasnya.

Sebelumnya, Komisi I DPR meminta Menkominfo Rudiantara untuk menunda keluarnya Peraturan Menteri (Permen) tentang penetapan Biaya Interkoneksi per 1 September 2016. Permen itu kabarnya menguatkan Surat Edaran No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016, di mana biaya interkoneksi turun 26% secara merata untuk 18 skenario panggilan di seluler. 

(Isk/Ysl)