Sukses

Network Sharing Harus Mengedepankan Prinsip Persaingan Sehat

Efesiensi industri telekomunikasi melalui network sharing dapat terjadi dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.

Liputan6.com, Jakarta - Pertarungan operator untuk memperjuangkan terwujudnya network sharing melalui revisi peraturan pemerintah (PP) 52 dan 53 tahun 2000, nampaknya mendekati kenyataan.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, telah mendapatkan salinan draft revisi PP 52 dan 53 tahun 2000 dari kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Menurutnya, beleid baru telekomunikasi tersebut tinggal ditandatangani Presiden Joko Widodo.

Dr. Syarkawi Rauf, S.E., M.E. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan, industri telekomunikasi merupakan salah satu industri yang menjadi perhatian KPPU. Tujuannya agar industri telekomunikasi nasional menjadi efesien. 

Ia mengatakan, KPPU tengah menunggu aturan baru telekomunikasi tersebut untuk dipelajari dengan teliti agar efesiensi industri telekomunikasi melalui network sharing dapat terjadi dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.

Namun, Syarkawi juga tak menginginkan network sharing yang digulirkan oleh kemkominfo merugikan operator telekomunikasi yang telah berusaha di industri tersebut.

Mengenai kisruh yang terjadi pada network sharing, Syarkawi mengendus semua permasalahan tersebut bermuara pada persaingan usaha.

Oleh sebab itu, KPPU ingin menelisik lebih lanjut mulai dari regulasi itu dibuat hingga bagaimana menata industri telekomunikasi.

“KPPU mencium kegaduhan ini disebabkan karena regulasinya yang selalu terlambat dalam melakukan penyesuaian. Padahal, teknologi telekomunikasi terus berkembang,” papar Syarkawi kepada Tekno Liputan6.com melalui email, Senin (19/9/2016).

Lebih lanjut, pada acara Implementasi Network Sharing dalam Persaingan Usaha, Ir. Muhammad Nawir Messi, M.Sc. komisioner KPPU menyetujui adanya efesiensi di industri telekomunikasi nasional melalui network sharing

Namun menurut Nawir, efesiensi tanpa diimbangi oleh fairness, tak akan membuat industri telekomunikasi Indonesia bebas dari sengketa persaingan usaha. Fairness di mata komisioner KPPU ini tidak hanya pada titik tertentu saja.

Tetapi harus dilihat berapa besar uang yang telah dikeluarkan oleh Telkom Group dalam membangun infrastruktur telekomunikasinya selama ini. Semua biaya yang dikeluarkan harus diperhitungkan di dalam perhitungan, baik itu interkoneksi maupun network sharing.

“Kalau kompensasi ini tidak ada, maka akan selalu menimbulkan persoalan. Dan ujung-ujungnya diselesaikan di KPPU,” terang Nawir.

Ia menjelaskan, sebelum dilakukan network sharing, harusnya regulator membuat level playing field yang sama. Jika tidak, Nawir memperkirakan potensi persaingan usaha tidak sehat masih akan terjadi.

Komisioner KPPU ini melihat hanya Telkom Group saja yang ‘jungkir balik’ membangun dan memenuhi komitmen pembangunan di Indonesia Timur dan daerah terpencil.

“Sehingga sangat wajar jika BUMN telekomunikasi kita menjadi sangat dominan saat ini, karena operator telekmunikasi yang lain tidak ada yang mau membangun. Itu yang dinamakan natural monopoli,” katanya.

Nawir menegaskan, bahwa uang yang dipakai untuk mengembangkan Telkom merupakan uang negara yang disisihkan ke perusahaan BUMN. Jika uang negara artinya uang masyarakat Indonesia.

“Jika penerapan network sharing dan penetapan tarif interkoneksi yang merugikan Telkom tanpa adanya kopensasi, maka rakyat Indonesia mensubsidi operator telekomunikasi swasta,” tegasnya.

Nawir pesimis adanya network sharing akan membuat tarif pungut di level konsumen akan turun signifikan. Selama persoalan tarif on-nett dan off-nett diselesaikan oleh regulator.

KPPU akan menelisik operator telekomunikasi yang sengaja membuat tarif telekomunikasi antar-operator (off-nett) mahal untuk mensubsidi layanan di dalam operator itu sendiri (on-nett).

Subsidi tarif on-nett ini dinilai KPPU tidak wajar dan tidak memberikan azas keadilan. Dikarenakan biaya yang dikenakan oleh operator bisa mencapai delapan kali lipat dari biaya interkoneksi. Padahal tarif pembicaraan on-nett hanya Rp 50 per menit.

“Itu sebenarnya sumber tidak efesiensinya industri telekomunikasi di Indonesia. Itu sama sekali tidak pernah disentuh dan dibicarakan oleh regulator. Ini juga yang dinamakan unfair fair competition. Makanya, saya meragukan cita-cita revisi PP 52 dan 53 yang bertujuan untuk meningkatkan efesiensi industri yang berdampak kepada kensumen,” tutup Nawir.

(Isk/Cas)