Sukses

Hasil Evaluasi Modern Licensing Operator Harus Transparan

Masyarakat berhak tahu hasil evaluasi lisensi modern dari semua operator agar pelayanan izin frekuensi terbebas dari diskriminasi.

Liputan6.com, Jakarta - Terkait amanat modern licensing yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999, masyarakat berhak mengetahui hasil evaluasi lisensi modern dari semua operator agar publik tahu pelayanan izin frekuensi terbebas dari diskriminasi dan maladministrasi.

Untuk diketahui, operator yang mendapat modern licensing harus memenuhi kewajiban pembangunan jaringan secara nasional sesuai komitmen saat mereka mendapat lisensi. 

"Modern licensing seperti kontrak antara regulator dan operator, jadi yang mengetahui hanya kedua belah pihak. Jika ada lembaga meminta, seperti Ombudsman atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), harusnya dibuka demi transparansi dan persaingan sehat di sektor telekomunikasi," ujar Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala.

Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/9/2016), ia menuturkan permintaan resmi kelembagaan dapat dibenarkan karena atas dasar kepentingan publik.

Sementara Pengamat Telekomunikasi Sigit Puspito Wigati mengatakan evaluasi modern licensing biasanya dilakukan secara rutin oleh regulator, khususnya menjelang perpanjangan izin.

"Data-data modern licensing sangat teknis sekali dan konsep yang masih dipakai saat ini adalah komitmen pembangunan. Biasanya yang dilihat adalah realisasi sesuai komitmen pembangunan," ujarnya.

Menurutnya, hal yang perlu dicermati saat menetapkan komitmen modern licensing adalah pemerintah sudah punya rencana daerah mana saja yang harus dibangun, hingga waktu pembangunanya. Dari situ, terlihat daerah yang hitung-hitungan bisnisnya kecil, tetapi layananya telekomunikasi dibutuhkan. 

"Di sini lah peran pemerintah untuk melihat komitmen yang disodorkan operator. Minta bangun di daerah yang dianggap 'semi kering'. Jika daerahnya 'kering', biasanya pakai dana Universal Service Obligation (USO)," jelasnya. 

Jika konsep itu dijalankan dalam 'melihat' modern licensing, tambah Sigit, perjuangan membangun daerah-daerah 'kering' secara bisnis tak hanya milik satu operator, tetapi dibagi ke semua pemain.  

"Ketika pembuatan modern licensing didominasi, 'selera' operator untuk membangun di tempat yang relatif menguntungkan, itu tak perlu dikomitmenkan. Ibarat ada gula ada semut, pasti operator datang ke daerah 'basah' secara bisnis," tutupnya.

Frekuensi Adalah Sumber Daya Alam

Sebelumnya, Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alamsyah Saragih menyarankan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk membuka hasil evaluasi modern licensing semua operator kepada publik.

"Amat disayangkan selama bertahun-tahun dokumen izin frekuensi tak dipublikasikan oleh Kementerian. Padahal, menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik pasal 11, dokumen yang memuat hak dan kewajiban operator telekomunikasi tersebut masuk kategori informasi terbuka," ungkapnya.

Menurutnya, publik tak cukup mengetahui perkembangan pelaksanaan kewajiban setiap operator. Kondisi ini memberi peluang terjadinya perlakuan istimewa terhadap salah satu operator dibanding yang lain.

Frekuensi adalah sumber daya alam terbatas dan dikuasai oleh negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Kehadiran sektor swasta sebagai penyelenggara tak boleh dilihat sebagai pemilik frekuensi. Mereka hanya perpanjangan tangan negara dalam menjamin akses warga negara atas frekuensi.

Ilustrasi jaringan telekomunikasi memancar dari tower. Kredit: Redmondpie
"Izin yang tak transparan membuka peluang maladministrasi yang berbuntut panjang. Gejala ini mulai tampak ketika dalam beberapa tahun Telkomsel lebih aktif dalam membangun infrastruktur sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, sedangkan beberapa operator lain lebih berkonsentrasi di area padat pelanggan," katanya.

Menurut Sigit, kisruh tarif interkoneksi hanya rentetan dari persaingan tak sehat yang bersumber dari tata kelola izin yang tidak transparan pada masa lalu.

Patut diduga telah terjadi maladministrasi dalam pemberian izin selama ini, berupa praktik diskriminasi dalam pembebanan kewajiban antaroperator.

"Mengintervensi pasar melalui tarif interkoneksi tak akan menyelesaikan inefisiensi yang bersumber pada tata kelola perizinan. Apalagi secara umum, biaya interkoneksi hanya mencapai 15 persen dari tarif retail. Maka, cara cerdas untuk keluar dari polemik ini adalah membuka dokumen izin frekuensi dan hasil evaluasinya ke publik," pungkasnya.

(Isk/Cas)

Video Terkini