Sukses

KPK, KPPU & Ditjen Pajak Diminta Selidiki Perang Tarif Operator

KPK, KPPU, dan Ditjen Pajak didesak segera turun tangan untuk mencegah kerugian negara akibat perang tarif seluler.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, didesak segera turun tangan untuk mencegah kerugian negara akibat perang tarif seluler.

Hal ini diklaim merupakan imbas dari polemik antar-operator yang dipicu revisi PP 52/53 Tahun 2000 tentang telekomunikasi.

Di satu sisi, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, tujuan revisi ini agar industri telekomunikasi nasional bisa mendapatkan efisiensi.

Namun di sisi lain, Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman justru berpendapat bahwa revisi PP 52/53 tahun 2000 malah akan menciptakan inefisiensi. Bahkan dampaknya lebih luas lagi dan berpotensi merugikan negara.

Menurutnya, revisi PP ini seolah-olah membuat efisiensi, padahal hanya terjadi pada sebagian operator saja. Di sisi lain bisa membawa kerugian multiplier effect bagi industri telekomunikasi.

"Jadi secara agregat tidak menguntungkan sektor telekomunikasi. Itu yang menjadi perhatian dari Ombudsman,” ujar Alamsyah melalui keterangan tertulisnya, Kamis (13/10/2016) di Jakarta.

Bahkan, menurutnya, revisi PP 52/53 tahun 2000 ini cenderung berpotensi merugikan keuangan negara dan dapat menimbulkan maladministrasi.

Salah satu bukti maladministrasi yang akan terjadi adalah adanya perang tarif antar-operator telekomunikasi.

“KPK harusnya bisa memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif ini. Karena ada potensi kerugian negara maka KPK bisa memeriksa praktik perang tarif yang merugikan negara tersebut,” terang Alamsyah.

Selain KPK, menurut Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), KPPU dan Ditjen Pajak juga dapat segera memeriksa operator telekomunikasi yang melakukan perang tarif.

"Sebab perang tarif yang dilakukan oleh operator telekomunikasi mengarah ke predatory pricing yang berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak," katanya.

Ketika operator menjual harga produknya di bawah harga pokok penjualan, akan membuat operator merugi. Jika merugi maka operator tak membayar pajak.

Akibatnya, negara tidak bisa melakukan belanja publik. Menurut Yustinus, predatory pricing yang rugi sebenarnya publik secara luas.

Perang Tarif

Diketahuinya, saat ini tercatat perang tarif terjadi di dua operator. Beberapa waktu yang lalu, XL Axiata mengeluarkan promosi Rp 59 per menit untuk tarif telepon antar-operator. Sebelumnya, Indosat Ooredoo mengeluarkan tarif promosi Rp 1 per detik untuk tarif telepon antar-operator.

Selain mengeluarkan tarif promosi, Indosat dan XL juga mengeluarkan paket bicara antar-operator yang dijual di bawah harga pokok produksinya. Indosat mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit dibanderol Rp 135 ribu atau setiap menit Rp 225 per menit.

Sementara XL mengeluarkan paket telepon ke semua operator sebulan dengan kuota 600 menit seharga Rp 120 ribu atau Rp 200 per menit.

Jika merujuk penetapan tarif interkoneksi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 250 per menit, ini artinya kedua operator itu melakukan dumping atau menjual produknya di bawah harga pokok penjualan (HPP).

Merujuk aturan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), tarif retail adalah biaya interkonkesi ditambah operasional perusahaan ditambah margin. Berdasarkan aturan tersebut, seharusnya tarif telepon antar-operator minimal adalah Rp 500 per menit.

Perhitungan itu didapat jika mengambil asumsi dari biaya terminasi (biaya interkoneksi tujuan pelanggan Rp 250) dan originasi (biaya interkoneksi asal pelanggan Rp 250). Operator bisa menurunkan biaya originasi tergantung dari kebijakan manajemen.

Jika Indosat dan XL menjual paket telepon ke semua operator masing-masing Rp 225 per menit serta Rp 200 per menit, ini artinya dua operator telekomunikasi tersebut menjual layanannya di bawah biaya produksi mereka.

(Isk/Cas)

Video Terkini