Liputan6.com, Jakarta - Setelah Donald Trump ditetapkan sebagai presiden terpilih Amerika Seriakt (AS), ada sejumlah kekhawatiran dan opini terkait perusahaan teknologi. Bila sebelumnya saham sebagian perusahaan teknologi dikabarkan anjlok, kini Apple banyak dapat sorotan dari pengamat ekonomi setempat.
Mengutip laporan Business Insider, Kamis (17/11/2016) para pengamat memerkirakan, jika Trump benar-benar meningkatkan pajak barang-barang impor dari Tiongkok, seperti yang diserukan oleh Trump semasa kampanye, kemungkinan besar harga iPhone akan mengalami kenaikan.
Tentunya hal ini akan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi konsumen sebab banyak barang elektronik berasal dari Tiongkok.Â
Advertisement
Baca Juga
Trump sempat mengancam, ia akan meningkatkan pajak 45 persen untuk barang dari Tiongkok. Dengan demikian, harga barang pun dipercaya akan mengalami kenaikan. Namun kemungkinan, menurut analis Michael Gapen, peningkatan pajak barang dari Tiongkok tak mencapai 45 persen, melainkan 15 persen .
Bila tarif impor naik 15 persen, tak berarti harga iPhone bakal melonjak 15 persen. Profesor ekonomi NYU Stern Paul Wachtel mengatakan, "Tarif dikenakan pada harga grosir. Misalnya Anda punya komputer seharga US$ 1.000, mungkin harga aslinya kurang dari US$ 500."
Hal itu mengindikasikan harga iPhone mungkin akan naik US$ 97 (setara Rp 1,3 jutaan) atau US$ 50 (setara Rp 670 ribuan).
Perusahaan sekelas Apple tentu bisa mencegah kenaikan harga produk dengan menurunkan keuntungan. Namun dampaknya bisa jadi masalah tersendiri bagi perusahaan.Â
Perang Dagang dan Lapangan Pekerjaan
Perang Dagang
Akibat kebijakan yang mungkin diambil oleh Trump, Tiongkok pun mengucapkan ancamannya, yakni mengenakan pajak impor untuk barang-barang dari AS atau membuat Apple kesulitan di Tiongkok. Dengan demikian, perang dagang antara kedua negara bakal menimbulkan suasana perdagangan tak sehat di skala internasional.
Lapangan Pekerjaan Tak Kembali ke AS
Alasan utama Trump berjanji meningkatkan tarif impor Tiongkok 45 persen adalah untuk menarik manufaktur kembali ke Amerika Serikat. "Aku ingin Apple memproduksi komputer dan ponsel mereka di dalam negeri, bukan di Tiongkok," ujar Trump semasa kampanye Maret lalu.
Profesor bidang ekonomi dari Columbia Amit Khandelwal berpendapat tentang hal itu. "Jika aku seorang pekerja perusahaan elektronik, mungkin aku mendapatkan keuntungan. Namun harga barang-barang akan mengalami kenaikan," tutur Khandelwal.
Ia mengungkapkan, alasan produk elektronik tak dibuat di Amerika Serikat lantaran pasokan komponen paling banyak berasal di Asia. "Biaya produksi bakal lebih murah, jika barang dirakit di Asia dibandingkan di Amerika," kata Khandelwal.
Khandelwal juga menyebut, jika Trump memutuskan memindahkan manufaktur Apple ke AS, biaya produksi lebih tinggi kemungkinan bisa ditekan dengan proses produksi oleh robot. Bila ini terjadi, tentunya lapangan pekerjaan tak bakal kembali ke negeri adidaya tersebut.
(Tin/Why)