Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) turut prihatin atas keputusan Rusia untuk memblokir akses publik ke situs web LinkedIn. Langkah Rusia dinilai menciptakan preseden yang dapat digunakan untuk membenarkan pemblokiran situs web lain yang beroperasi di negara tersebut.
LinkedIn yang bermarkas di AS, menjadi jejaring sosial besar pertama yang diblokir di Rusia lantaran dianggap tak taat peraturan. Hukum baru Rusia mewajibkan perusahaan-perusahaan yang memegang data warganya, menyimpannya di server yang ada di negara tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Menurut para analis layanan internet, perusahaan teknologi lain termasuk Facebook dan Twitter, bisa diblokir juga kecuali mereka memindahkan datanya ke server di Rusia, seperti dilansir Reuters, Selasa (22/11/2016).
Juru bicara Kedutaan Besar AS untuk Rusia, Maria Olson, mengatakan bahwa Pemerintah AS mendesak otoritas Rusia untuk membuka kembali akses ke LinkedIn secepatnya. Ia menilai pemblokiran itu merugikan kompetisi dan orang-orang yang ada di Rusia.
"AS sangat prihatin dengan keputusan Rusia memblokir akses ke LinkedIn. Keputusan ini menciptakan preseden yang bisa digunakan untuk membenarkan memblokir situs web apa pun yang memiliki data pengguna Rusia," tutur Olson.
Sementara itu, Menteri Komunikasi Rusia, Nikolai Nikiforov, mengatakan bahwa keputusan memblokir LinkedIn dibuat oleh dua pengadilan. Namun ia menyiratkan bahwa masalah tersebut masih bisa diselesaikan.
"Kami berharap dialog konstruktif bisa memperbaiki keadaan. Semua perusahaan asing harus sejalan dengan hukum dan ada banyak yang tidak keberatan dengan aturan yang ada," jelasnya.
LinkedIn sendiri saat ini memiliki lebih dari enam juta pengguna di Rusia. Otoritas Rusia mulai bertindak setelah sebuah pengadilan pada bulan ini, menolak banding yang diajukan oleh LinkedIn terhadap putusan sebelumnya bahwa situs web-nya harus diblokir.Â
(Din/Ysl)