Liputan6.com, Jakarta - Facebook saat ini tengah dikaitkan sebagai salah satu corong penyebaran berita palsu yang dilakukan sejumlah orang. Tuduhan ini kian diperkuat setelah jejaring sosial itu dikaitkan dengan kemenangan Donald Trump pada pemilihan umum Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
CEO Facebook Mark Zuckerberg pun angkat bicara mengenai persoalan tersebut. Menurut dia, seperti dikutip dari Business Insider beberapa waktu lalu, jumlah berita palsu di layanannya begitu sedikit dan tak mungkin berpengaruh pada kemenangan Trump.
Advertisement
Baca Juga
Namun, ia tak menampik Facebook tengah berupaya keras untuk bisa menghilangkan keberadaan berita palsu atau hoax di platform-nya. Beragam strategi telah diungkap Zuckerberg, seperti pelaporan berita palsu oleh pengguna, kebijakan iklan, dan pendeteksian berita yang lebih baik.
Meskipun Zuckerberg menampik tuduhan tersebut, tak sedikit pengguna yang kadung kecewa dan memilih untuk berhenti sementara dari layanan itu. Terlebih, pada kenyataannya sistem algoritma News Feed memang memungkinkan seseorang menjadi terpaku pada satu pandangan saja.
Hal itu disebabkan algoritma News Feed Facebook berusaha untuk menampilkan konten yang dianggap sesuai dengan keinginan pengguna. Namun sistem itu tak bisa membedakan apakah sebuah konten itu fakta atau tidak.
Kondisi ini yang disebut oleh Eli Pariser sebagai gejala filter bubble. Melalui bukunya yang berjudul "The Filter Bubble: What The Internet is Hiding", sistem ini memang mungkin tepat diberlakukan untuk kebutuhan e-Commerce, tapi tidak tepat bila digunakan pada demokrasi.
Pasalnya, pengguna yang telah memilih satu kata kunci akan terus mendapat informasi sesuai dengan pilihan tersebut, tanpa ada pandangan lain.
Keadaan ini berlaku hampir di seluruh pengguna Facebook. Karena itu, sangat mungkin seseorang hanya mendapat informasi dari satu sudut pandang saja.
Kondisi di Indonesia
Lantas, apakah penyebaran berita palsu di Facebook dapat mengancam kebebasan demokrasi dan konflik? Mengutip dari tulisan pegiat SAFEnet Damar Juniarto di situsnya, Kamis (24/11/2016), dunia siber sekarang ini seperti lautan penuh kebencian yang memerlukan sikap hati-hati.
Pun bukan berarti, masalah di dunia siber dapat berujung pada sebuah konflik kelas atau struktural. Menurut dia, konflik yang ada saat ini masih berbasis ekspresi politik yang disampaikan secara emosional.
Hal itu tak lepas dari kacamata kuda pengguna, sehingga terjadi adu balas tidak sehat, keruh, dan penuh distorsi. Untuk itu, diperlukan penegakan aturan yang jelas dan tegas melalui media sosial.
Ditemui saat gelaran Tech in Asia Jakarta 2016, Damar juga menuturkan etika digital perlu diterapkan, terutama menjelang pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi dilakukan. Etika penting untuk mengisi ruang yang tak bisa diselesaikan melalui hukum perundangan yang ada.
Pertama, hal yang harus diperhatikan adalah menghormati pendapat atau pilihan politik seseorang. Pria yang juga aktif di Forum Demokrasi Digital itu menyebut jangan mendorong orang untuk menggunakan haknya, tapi kemudian dijatuhkan.
"Melakukan hal semacam itu kan tidak sehat," tutur Damar kepada tim Tekno Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Selain itu, unggahan bersifat kebencian harus segera dihentikan. Damar menilai kebencian seolah-olah kini mendapat tempat di media sosial.
Kondisi itu, apabila dilakukan terus-menerus, dapat berujung pada disintegrasi bangsa. Meskipun memang belum dalam tahap konflik sosial, bukan tak mungkin jika terus berlarut-larut ada kemungkinan Indonesia memiliki konflik berbasis kebencian di media sosial.
(Dam/Cas)