Sukses

Laporan Kasus UU ITE Terbanyak Berasal dari Aparatur Negara

Menurut data SAFEnet, sebagian besar pelapor kasus UU ITE ternyata berasal dari kalangan aparatur negara.

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mulai berlaku hari ini (28/11/2016) tengah menjadi pembahasan hangat. Alasannya, revisi ini tak menghilangkan pasal karet yang ada di dalam UU tersebut.

Pasal yang dimaksud adalah Pasal 27 ayat 3. Pasal yang mengatur tentang distribusi mengenai pencemaran nama baik atau muatan penghinaan dalam informasi atau dokumen elektronik itu dianggap multitafsir.

Menurut data SAFEnet, sebagian besar pelapor kasus UU ITE ternyata berasal dari kalangan aparatur negara. Mengutip Remotivi, Selasa (28/11/2016), dari total 126 laporan dalam rentang periode 28 Agustus 2008 hingga 23 Agustus 2016, 50 kasus di antaranya dilaporkan oleh mereka yang merupakan aparatur negara.

Setelah itu, 32 laporan lainnya berasal dari profesional, 28 laporan lainnya dari masyarakat sipil, 14 laporan lainnya berasal dari pelaku bisnis, dan 2 laporan lainnya tak diketahui siapa pelapornya. Lebih lanjut dikatakan bahwa laporan paling banyak dari aparatur negara berasal dari kepala daerah seperti walikota, bupati, dan gubernur.

Lalu, aparatur negara lainnya yang melakukan pelaporan terkait UU ITE adalah anggota DPD atau DPRD, hakim atau jaksa, PNS, serta polisi, TNI dan BNN. Selain itu, beberapa anggota PANWASLU, KPAI, dan kementerian juga diketahui telah melakukan pelaporan.

Berdasarkan data tersebut, alasan yang paling sering digunakan adalah penghinaan terhadap pejabat negara. Di samping itu, tuduhan lain seperti melakukan korupsi dan kekerasan juga menjadi alasan kuat mengapa mereka melakukan pelaporan. 

Kemudian laporan paling banyak ternyata ditujukan kepada aktivis LSM dengan persentase 24 persen dan 20 persen lainnya dialamatkan kepada pihak yang tidak diketahui identitasnya. Profesional, aparatur negara, dan terlapor lainnya masing-masing sekitar 16 persen. Terakhir, laporan yang menyeret wartawan, pemimpin redaksi, dan jurnalis sekitar 8 persen.

Sekadar informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi UU ITE genap sebulan lalu, tepatnya pada Kamis (27/11/2016). Keputusan itu dilakukan setelah Presiden menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia membahas hal tersebut bersama DPR agar mendapat persetujuan bersama.

Pembahasan RUU Tingkat I telah diselesaikan pada 20 Oktober 2016, dengan keputusan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya: Pengambilan Keputusan atau Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Menkominfo Rudiantara sebelumnya sempat mengutarakan Revisi UU ITE ini dapat menjadi perlindungan hukum yang adil bagi seluruh kalangan masyarakat dalam kaitannya dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.

(Dam/Why)