Liputan6.com, Jakarta - Tidak jarang, dalam mengantisipasi perubahan dan perkembangan tren teknologi informasi, ditemui tantangan yang dapat berdampak langsung terhadap kualitas layanan sebuah startup. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kultur dan infrastruktur dinamis dalam mengadopsi teknologi baru.
Di dalam merancang sebuah sistem teknologi informasi dikenal istilah arsitektur monolitik; sistem ketika aspek fungsional dari sistem tidak dipisahkan dalam komponen-komponen lebih kecil. Di fase awal, sebuah startup pada umumnya akan menggunakan arsitektur ini karena jumlah tim masih sedikit dan dituntut untuk menghasilkan produk secara cepat, dan sistem yang dibuat pun masih relatif sederhana.
Advertisement
Baca Juga
Ketika startup mulai berkembang, tantangan mulai timbul; anggota tim makin banyak, sistem makin kompleks, dan traffic ke website atau aplikasi makin meningkat. Pada fase inilah biasanya startup mulai memikirkan masalah scalability.
Untuk meningkatkan scalability di arsitektur monolitik, diperlukan penambahan kapasitas sistem dengan menambah kapasitas server yang terkadang membutuhkan biaya tidak sedikit. Kelemahan sistem monolitik, selain biaya, juga terletak pada proses kolaborasi antartim.
Salah satu contohnya adalah pada saat rencana rilis terbaru yang telah disepakati dengan fitur tambahan yang akan dibuat, tetapi ada salah satu fitur yang mengalami kendala di waktu rilis yang ditentukan. Hal semacam ini dapat menunda rilis secara keseluruhan.
Sebagai startup teknologi, dengan pelopor model bisnis O2O (online to offline), Kudo melakukan proses migrasi dari arsitektur monolitik ke microservice. Arsitektur microservice memiliki keunggulan utama yang berdampak positif bagi perkembangan dalam sistem teknologi, yaitu language agnostic.
Dalam keterangannya kepada Tekno Liputan6.com, Trio Purnomo, Technology Evangelist Kudo mengatakan bahwa migrasi ke arsitektur microservice memberikan kemudahan untuk membangun sebuah sistem tanpa bergantung kepada satu bahasa pemrograman yang memiliki dampak positif dalam mengadopsi teknologi baru tanpa mengubah keseluruhan sistem.Â
Migrasi ini juga turut mempermudah tim Human Capital Kudo dalam mencari programmers baru. Bila di arsitektur monolitik suatu sistem dibuat menggunakan satu bahasa pemrograman, dengan microservice sistem dapat dipecah ke beberapa bagian lebih kecil, yang bisa dirancang dengan beragam bahasa pemrograman. Oleh karena itu, programmers dengan berbagai latar belakang bahasa pemrograman dapat bekerja sama membangun startup menjadi lebih baik.
(Why/Isk)