Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah perusahaan teknologi bereaksi menentang kebijakan anti-imigran yang baru dicanangkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Tanggapan yang diberikan pun beragam, mulai dari memo internal hingga aksi secara personal seperti yang dilakukan oleh Presiden Alphabet, Sergey Brin.
Kebijakan anti-imigran yang dicanangkan Trump menimbulkan reaksi beragam dari warga negara AS, terutama imigran. Bahkan Sergey Brin yang merupakan imigran dari Moskow, bergabung dengan para demonstran di San Francisco International Airport, untuk menolak kebijakan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Industri teknologi merupakan salah satu pihak yang menolak kebijakan Trump tersebut, terlebih lagi sejumlah perusahaan teknologi besar di AS dipimpin oleh imigran.
Satu per satu perusahaan teknologi pun bereaksi atas executive order (perintah eksekutif) yang ditandatangani oleh Trump pada pekan lalu, yaitu menutup perbatasan AS dari pengungsi dan penduduk sejumlah negara mayoritas muslim yaitu Syiria, Iraq, Iran, Sudan, Somalia, Yaman, dan Libya.
Berkaitan dengan imigran, berikut ini 4 imigran di AS yang menjadi bos raksasa teknologi dunia.Â
1. Sergey Brin
Pria bernama lengkap Sergey Mikhaylovich Brin ini lahir di Moskow pada 21 Agustus 1973. Bersama dengan Larry Page, ia mendirikan Google. Brin kini menjabat sebagai Presiden dari induk usaha Google, Alphabet.
Brin lahir dari pasangan keturunan Yahudi Rusia, Yevgenia and Mikhail Brin. Ia berimigrasi ke AS bersama dengan keluarganya dari Soviet Union, saat berumur 16 tahun.
Â
Di Negeri Paman Sam itu Brin bertemu Page atau tepatnya saat kuliah di Stanford University, tempat ia meraih gelar PhD di bidang ilmu komputer.
Sebagai seorang imigran, Brin merasa harus ikut andil dalam demonstrasi kebijakan anti-imigran yang akan diterapkan oleh Trump. Namun dalam aksi protes bersama demonstran lain beberapa hari lalu, ia menegaskan bahwa tindakannya itu merupakan urusan personal dan tidak ada hubungannya dengan Google atau Alphabet.
2. Sundar Pichai
Sundar Pichai saat ini menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Google. Ia mengecam keras kebijakan anti-imigran Trump, karena dinilai dapat menghambat talenta-talenta hebat datang ke AS.
Pichai lahir di Madurai, Tamil Nadu, India, dari pasangan Lakshmi dan Ragunatha Pichai. Ia menghabiskan masa kecilnya di Madras, sekarang Chennai.
Â
Setelah lulus dari Indian Institute of Technology Kharagpur, Pichai melanjutkan pendidikan di Stanford University, hingga akhirnya bekerja dan menjadi warga negara AS.
Google sendiri memiliki banyak karyawan yang diprediksi terkena dampak kebijakan baru Trump. The Wall Street Journal mencatat, setidaknya ada 187 karyawan Google yang bekerja dan tinggal di Amerika Serikat, akan terkena dampak kebijakan imigrasi tersebut.
Perusahaan yang bermarkas di Mountain View itu telah memanggil karyawan yang ada di luar negeri untuk segera kembali ke AS.
Satya Nadella dan Jan Koum
3. Satya Nadella
Satya Naraya Nadella (Satya Nadella) menyedot perhatian besar ketika ditunjuk memimpin Microsoft, terutama di tanah kelahirannya, India. Chief Executive Officer (CEO) Micorosft ini lahir di Hyderabad, Andhra Pradesh, India, 49 tahun silam.
Setelah lulus dari Manipal Institute of Technology pada 1988, Nadella hijrah ke AS untuk melanjutkan pendidikannya. Ia adalah almamater ilmu komputer di University of Wisconsin–Milwaukee dan meraih gelas MBA dari University of Chicago Booth School of Business.
Sama seperti sejumlah petinggi perusahaan teknologi lain, Nadella turut buka suara menanggapi kebijakan Trump. Melalui akun LinkedIn miliknya, Nadella menuliskan, "Sebagai seorang imigran dan CEO, saya sudah mengalami sendiri dan melihat dampak positif yang diberikan imigran kepada perusahaan kami, negara dan dunia. Kami akan selalu mendukung topik penting ini".
4. Jan Koum
CEO WhatsApp, Jan Koum, merupakan imigran dari Ukraina. Pria yang lahir di Kyiv pada 24 Februari 1976 ini tumbuh di Fastiv, sebelum akhirnya pindah bersama ibu dan neneknya ke Mountain View, California, AS, pada 1992.
Saat pindah ke AS pada usia 16 tahun, Koum beserta keluarganya harus berjuang untuk bertahan hidup. Bahkan mereka pernah bergantung pada kupon makanan gratis di Mountain View, tepatnya hanya beberapa blok dari kantor pusat WhatsApp.
Koum terus berjuang di Negeri Paman Sam, hingga akhirnya meraup sukses berkat aplikasi WhatsApp, yang dibuatnya bersama dengan Brian Acton. Kini WhastApp berada di bawah naungan Facebook, setelah diakuisisi pada 2014.
(Din/Isk)
Advertisement