Liputan6.com, Jakarta - Penyebaran berita palsu (hoax) kian deras menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Biasanya, setelah melewati masa tersebut, tren penyebaran berita hoax menurun.
Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Deddy Mulyana, karakter asli masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat merupakan salah satu faktor mudahnya menelan berita palsu yang disebarkan dengan sengaja.
“Sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita. Sayangnya, apa yang dibicarakan belum tentu benar. Sebab, budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data. Kita tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Sedangkan media sosial, sebagai sumber berita hoax, adalah kepanjangan panca indera manusia,” Kata Deddy kepada Tekno Liputan6.com melalui email, Rabu (8/2/2016) di Jakarta .
Advertisement
Menurut mantan dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini, masyarakat kita cenderung senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan kekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri.
“Politik adalah bidang yang memiliki aspek-aspek tersebut. Tidak heran kalau berita hoax sering sekali terjadi pada tema politik, khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan seperti pilkada,“ tambahnya.
Baca Juga
Deddy menambahkan, rendahnya kecerdasan literasi masyarakat Indonesia juga menjadi faktor penyebab hoax mudah dikonsumsi.
“Apakah di AS tidak ada hoax? Tentu ada, tapi tidak massif seperti di Indonesia. Pasalnya, mereka telah melewati tradisi literasi sebelum masuk era sosial media. Sementara bangsa kita yang tidak hobi membaca buku ini tiba-tiba dicekcoki dengan banjir informasi di ranah digital," paparnya.
Di sisi lain, fenomena masyarakat Indonesia yang senang menyebarkan berita hoax cenderung menurun untuk isu-isu tertentu. Hal ini dikemukakan oleh Luciana Budiman, Country General Manager Isentia saat melakukan pemantauan terhadap isyu-isyu hoax selama tiga bulan terakhir melalui media sosial.
“Kami memantau ada tiga isu besar selama kurun waktu dua bulan terakhir, 31 Desember 2016 hingga 24 Januari 2017, yaitu mengenai eksodus 10 juta pekerja China, wafatnya mantan presiden BJ Habibie, dan miringnya jembatan Cisomang," ungkapnya.
Dua isu terakhir ini, tambah Luciana, terdapat kurang dari 100 percakapan di media sosial, sedangkan isu pekerja negara asing terdapat dalam 1224 pembicaraan. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya orang Indonesia sudah mulai bisa memilih dan memilah mana fakta yang perlu disebarluaskan dan mana berita yang belum valid.
Untuk isu 10 juta pekerja China, sambungnya, tidak saja media sosial yang membicarakannya melainkan juga media tradisional. Terdapat 118 artikel yang di berbagai media yang membahas tentang ini dan 54 persennya adalah media online.
“Surat kabar menempati posisi kedua dengan jumlah pemberitaan 43 persen, sedangkan televisi dan majalah hanya 3 persen saja. Sementara di ranah media sosial, Twitter menyumbang 86,74 persen pembicaraan, diikuti oleh Facebook 10,85 persen. Sisanya adalah forum online dan blog,” pungkasnya.
(Isk/Cas)