Sukses

Kesulitan Bayar Rumah, Karyawan Facebook Minta Bantuan Zuckerberg

Karyawan Facebook sempat meminta bantuan kepada Mark Zuckerberg untuk mendapat subsidi rumah. Bagaimana dengan perusahaan lain?

Liputan6.com, Jakarta - Bekerja di perusahaan sekelas Facebook, Twitter, Apple, dan lain-lain mungkin diidam-idamkan oleh banyak mahasiswa jurusan teknik. Yang ada di pikiran mereka, jika bekerja di sana, antara lain gaji besar, kantor nyaman, bergaul dengan orang-orang cerdas, dan segudang rasa nyaman lainnya.

Namun siapa sangka, pekerja di perusahaan teknologi yang dibayar dengan gaji tinggi, ternyata kesulitan membayar sewa rumah. Mereka kebanyakan tinggal di San Francisco, wilayah dengan harga rumah yang terkenal paling mahal di seluruh AS.

Mengutip laporan CNBC, Selasa (7/3/2017), biaya hidup di San Francisco 62,6 persen lebih tinggi dibandingkan tempat lainnya di Amerika Serikat. Menurut SmartAsset.com, pada 2016, biaya sewa apartemen dengan dua kamar di San Francisco mencapai US$ 216.129 atau setara Rp 2,8 miliar.

The Guardian menyebut, biaya sewa mahal di San Francisco ditengarai lantaran banyaknya perusahaan teknologi serta kurangnya perumahan di kawasan Silicon Valley. Seorang karyawan Twitter yang enggan disebut namanya malah mengaku meminjam uang agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga karena gajinya terpakai untuk sewa rumah.

Bukan cuma itu, The Guardian juga melaporkan, beberapa karyawan bahkan meminta bantuan dari bos mereka. "Engineer di Facebook tahun lalu sempat meminta bantuan ke Mark Zuckerberg. Mereka menanyakan apakah perusahaan bisa memberi subsidi agar biaya sewa rumah bisa lebih terjangkau," kata seorang petinggi perusahaan yang enggan disebut namanya.

Bagi engineer yang bertempat tinggal di apartemen di Bay Area, biaya rumah merupakan keluhan utama. Mereka berharap mampu membayar 40 atau 50 persen dari gaji mereka.

Ilustrasi: Seorang tunawisma kedapatan kedapatan tidur di depan bangunan di San Francisco karena mahalnya biaya sewa rumah (Sumber: The Guardian)

Tak hanya karyawan Facebook dan Twitter, salah satu karyawan Apple malah tinggal di sebuah garasi di Santa Cruz dan menggunakan ember kompos sebagai toilet. Karyawan lainnya malah harus rela hidup bersama 12 engineers di sebuah apartemen 2 kamar yang disewa melalui Airbnb.

"Masing-masing harus membayar US$ 1.100 (Rp 14 juta) untuk satu kamar yang dipakai 5 orang," kata karyawan perusahaan teknologi yang tak mau menyebutkan namanya.

Seorang perempuan berusia 50 tahunan yang bekerja di divisi digital marketing perusahaan telekomunikasi terkemuka AS pun mengaku kesulitan menyewa rumah. "Kami punya gaji US$ 1 juta (Rp 13,3 miliar), tapi tak mampu membeli sebuah rumah!" keluhnya.

Karyawan lain yang bekerja di perusahaan software malah tak lagi optimistis mengenai masa depan. "Satu-satunya solusi yang saya lihat adalah menekan tombol reset. Itu pun telah kami lakukan. (Biaya sewa mahal) sangat menyakitkan bagi banyak orang, termasuk saya," tuturnya.

(Tin/Why)