Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengeluarkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial (medsos). Namun sebenarnya, MUIÂ telah menetapkan fatwa tersebut sejak 13 Mei 2017.
Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin berharap fatwa ini bisa menjadi pedoman umat Muslim dalam menggunakan media sosial. Konten-konten yang meresahkan masyarakat tidak lagi ada di media sosial, sehingga kehidupan dapat berjalan dengan lebih baik.
Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny Budi Utoyo mengatakan, keberadaan fatwa tersebut bukan menjadi akhir untuk menghentikan konten negatif di media sosial karena ini baru langkah awal.
Advertisement
"Isi dari fatwa tersebut normatif, yang artinya sudah lama ada dalam etika berinternet (netiket). Bedanya, kalau netiket sifatnya adalah konsensus, kesepakatan bersama untuk dipatuhi bersama, tidak ada konsekuensi jika tak dipatuhi," ujar Donny melalui keterangan tertulisnya, Kamis (8/6/2017) di Jakarta.
Namun demikian, ia menegaskan, esensi pesan yang ada relatif sama dengan netiket, yaitu panduan atau pedoman hubungan antar manusia di internet.
Baca Juga
"Selain netiket dan fatwa, ada kemasan lain, yakni berbentuk regulasi pemerintah berisi mana yang boleh dan mana yang tidak. Bila melanggar, maka aturan hukum positifnya bisa dikenai perdata, pidana, denda administratif, kerja sosial, permintaan terbuka atau lainnya," sambung pria lulusan Teknik Informatika Universitas Gunadarma tersebut.
Contoh di tingkatan ini, lanjut Donny, sudah adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan demikian, tidak perlu diteruskan dengan adanya Peraturan Pemerintah (Permen) untuk menguatkan fatwa media sosial.
Mengenai seberapa efektifnya pedoman tersebut, perlu ditanyakan kepada masyarakat, apakah sekarang memiliki kemampuan 'membaca' panduannya atau tidak.
"Membaca di sini bukan harafiah membaca huruf, tapi juga memahami sebab-sebab, apa, dan mengapa pedoman tersebut dirilis. Apa kaitan pada dirinya dan konsekuensi pada kalam dan perilakunya," ucap penggerak program Internet Sehat ini.
Kemampuan 'membaca' itu, kata Donny, yang disebut sebagai literasi digital. Khususnya jika bicara internet dan media sosial. Maka dari itu, tak hanya menghadirkan pedoman saja tetapi juga bagaimana agar masyarakat Indonesia membaca, memahami, dan mengamalkan isi pedoman tersebut.Â
"Saat ini, saya lebih fokus mendorong literasi digital seluas-luasnya kepada masyarakat dengan kerja sama multi stakeholder. Contohnya lewat program Internet Sehat, karena literasi digital inilah yang saya yakini sebagai pondasi terpenting dari membangun peradaban digital Indonesia," pungkasnya.
(Isk/Why)