Sukses

Pilih Berinvestasi Cybersecurity atau Berurusan dengan Hacker?

Ancaman siber telah berkembang luas ke berbagai platform dan jalur baru yang siap dieksploitasi.

Liputan6.com, Jakarta - Sejauh ini, ancaman cybersecurity dengan mudah bisa diminimalkan karena tim IT memiliki visibilitas jaringan lengkap dan kendali yang kuat terhadap akses aplikasi dan data. Namun, lanskapnya saat ini telah jauh berbeda.

Dengan munculnya berbagai aplikasi berbasis cloud, ditambah dengan tren digitalisasi dan Bring-Your-Own-Devices (BYOD), serangan keamanan cyber masa kini terjadi pada beberapa lapisan jaringan.

Menurut laporan Ponemon 2016 (Application Security in the Changing Risk Landscape), separuh responden (50 persen) menyebutkan bahwa serangan pada application layer lebih sering terjadi.

Bahkan lebih dari separuh responden (60 persen) menyatakan, serangan tersebut lebih parah dibandingkan serangan pada lapisan jaringan. Tidak mengherankan jika ancaman siber telah berkembang luas ke berbagai platform dan jalur baru yang siap dieksploitasi.

Penyerang bahkan menggunakan taktik serangan yang lebih beragam, seperti rekayasa sosial, ransomware, dan DDoS. Menurut Cisco Annual Cybersecurity Report 2017, lebih dari separuh profesional keamanan mengidentifikasi mobile devices (58 persen), data di public cloud (57 persen), dan cloud infrastructure (57 persen) menjadi fokus utama mereka terkait cyberattacks.

Semua Mata Tertuju ke Asia Pasifik

Fetra Syahbana, Country Manager F5 Network Indonesia mengatakan, hadirnya teknologi baru hanyalah sebagian dari faktor yang mendorong evolusi cybersecurity.

"Tipe cybercriminals masa kini telah berkembang menjadi lebih berbahaya dengan jenis serangan yang lebih sering, rumit, dan mahal untuk diperbaiki," ujarnya melalui keterangan resminya, Kamis (22/6/2017) di Jakarta.

Menurut konsultan yang berbasis di London, Grant Thornton, perusahaan di Asia Pasifik kehilangan pendapatan sekitar US$ 81,3 miliar karena cyberattacks. Bandingkan dengan dampaknya di Eropa dan AS yang berturut-turut sebesar US$ 62,3 miliar dan US$ 61,3 miliar.

Asia disebut menjadi target utama para peretas (hacker). Di Tiongkok, jumlah cyberattacks melonjak dari 241 kasus pada 2014 menjadi 1.200 kasus pada 2015. Kawasan Asia juga menjadi tempat terjadinya beberapa pelanggaran paling merusak dalam beberapa tahun terakhir.

Fetra menuturkan, serangan cyber terhadap Komisi Pemilu Filipina pada 2016 dianggap sebagai pembobolan data pemerintahan terbesar dan mengakibatkan jutaan informasi pemilih bocor hanya dalam waktu beberapa bulan sebelum pemilihan umum nasional.

Begitu juga dengan serangan terhadap National Payment Corporation India pada tahun yang sama, melibatkan 3,2 juta kartu debit yang digunakan secara ilegal. Dua kasus ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya serangan berskala sama yang terjadi di kawanan Asia.

Dampak dari serangan-serangan yang merusak tersebut mungkin membuat kamu berpikir bahwa keamanan cyber akan menjadi prioritas utama bagi semua organisasi, baik perusahaan besar maupun perusahaan rintisan (startup) yang hanya dijalankan oleh satu orang.

"Faktanya tidak seperti itu. Meskipun terjadi kerugian pendapatan signifikan akibat serangan cyber, sebuah studi PwC (PricewaterhouseCoopers) menemukan bahwa hampir 40 persen perusahaan sama sekali belum berencana untuk berinvestasi dalam keamanan cyber," pungkasnya.

(Isk/Cas)

Tonton Video Menarik Berikut Ini: