Sukses

Sehat Sutardja: Kalau Mau Sukses Harus Ciptakan Hal Mustahil

Sehat Sutardja mengantongi ratusan paten dan perusahaan yang ia dirikan memiliki ribuan karyawan dengan kantor di berbagai negara di dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Cara berpikir luar biasa diaspora Indonesia yang mendulang sukses di Amerika Serikat, Sehat Sutardja, dibuktikan ketika ia memutuskan untuk bekerja di sebuah startup kecil. Keputusannya bahkan ditentang oleh profesornya ketika kuliah.

"Profesor saya bilang, 'Kalau kamu kerja di startup kecil, kamu gak punya resources untuk berinovasi. Lebih baik kamu kerja di IBM atau perusahaan besar lainnya," katanya saat menjadi pembicara di Kongres Diaspora Indonesia, yang berlangsung Sabtu (1/7/2017) di The Kasablanka, Kota Kasablanka, Jakarta.

Namun ia tetap bersikeras dengan keputusannya bekerja di startup kecil karena ia yakin bisa membuat perbedaan dengan bekerja di sana.

Beberapa waktu kemudian, ia bersama rekannya mendirikan Marvell Technology Group, perusahaan pembuat chipset. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah ia harus bersaing dengan perusahaan semikonduktor raksasa lainnya dalam menggaet perusahaan yang menggunakan produk semikonduktor. Ia mendatangi beberapa perusahaan, menawarkan produknya, tetapi kebanyakan ditolak.

"Suatu ketika ada yang kasih kesempatan, tapi di sisi lain kesempatan itu merupakan tantangan yang terbilang mustahil. Mereka minta saya menyediakan chip lebih cepat dari perusahaan lain yang lebih besar," katanya.

Ia tak putus asa. Tantangan itu justru ia jadikan sebagai motivasi hingga akhirnya ia mampu membuktikan kemampuan dirinya dan perusahaannya.

"Kalau mau sukses, kamu harus menciptakan sesuatu yang menurut orang lain mustahil diwujudkan," pungkasnya.

Untuk diketahui, Sehat menyukai dunia elektronik sejak menginjak usia dua belas tahun. Namun kala itu, referensi untuk belajar transistor dan ilmu elektronik sangat terbatas.

"Waktu saya berusia dua belas tahun, saya mulai tertarik untuk bisa memahami bagaimana cara kerja transistor. Buat ukuran anak dua belas tahun, menyenangi transistor tentu hal yang aneh," kata pria yang pernah menjadi pembicara di ajang World Economic Forum tersebut.

Lebih lanjut ia mengatakan, orangtuanya pada awalnya justru menginginkan ia menjadi dokter karena profesi ini dianggap menjanjikan.

"Ibu saya bilang, 'Kamu harus jadi dokter, supaya banyak uang, nanti beli rumah bagus'. Namun saya tetap pada pendirian, saya cuma mau belajar transistor atau elektronik," ungkapnya.

Belajar di tengah keterbatasan

Saat itu referensi untuk belajar transistor dan ilmu elektronik sangat terbatas. Referensi pertama yang ia gunakan adalah majalah berbahasa Tiongkok dari Hong Kong, yang diterjemahkan oleh ibunya. Kemudian ia mencari referensi lain untuk memuaskan dahaganya dalam belajar transistor.

"Saya masih ingat, saya cari di Yellow Pages, menemukan alamat tukang servis radio di daerah Pasar Baru. Saya pergi menemuinya untuk minta diajari soal transistor, tapi tidak cocok, lalu mencari orang lain hingga akhirnya bisa memahami dasar cara kerja transistor dan elektronik serta mendapat sertifikat keahlian untuk servis radio," paparnya.

"Kegilaan" Sehat terhadap transistor kian menjadi-jadi. Ia bisa menghabiskan waktu tiga hingga empat jam per hari untuk bergelut dengan dunia transistor dan elektronik hingga suatu waktu ia berhasil merangkai alat elektronik sendiri yang dapat berfungsi.

Tonton video menarik berikut ini:

(Why/Isk)