Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) akan menyiapkan Standard Operating Procedure (SOP) untuk memperlancar komunikasi dalam proses penanganan konten negatif di layanan pesan singkat Telegram. SOP ini diharapkan dapat segera diimplementasikan.
Baca Juga
Advertisement
SOP ini merupakan bentuk tindak lanjut pemerintah setelah menerima respons dari Telegram tentang pemblokiran situs web-nya di Indonesia.
Pada Minggu (16/7/2017), Chief Executive Officer (CEO) Telegram, Pavel Durov, menyampaikan permohonan maaf dan mengakui telah menerima email komunikasi dari Kemkominfo, meski sebelumnya mengatakan belum menerima email laporan dari Pemerintah Indonesia.
Selanjutnya, ia berkomitmen untuk membuka jalur komunikasi dengan Kemkominfo.
"Durov telah menindaklanjuti yang diminta oleh Kemkominfo dan mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negatif, khususnya radikalisme/terorisme. Saya mengapresiasi respons dari Pavel Durov tersebut dan Kemkominfo akan menindakanjuti secepatnya dari sisi teknis detail agar SOP bisa segera diimplementasikan," jelas Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/7/2017).
Berikut bentuk tindak lanjut Kemkominfo, yang berupa penyiapan SOP secara teknis:
1. Kemungkinan dibuatnya Government Channel agar komunikasi dengan Kemkominfo lebih cepat dan efisien.
2. Kemkominfo akan meminta diberikan otoritas sebagai Trusted Flagger terhadap akun atau kanal dalam layanan Telegram.
3. Kemkominfo akan meminta Telegram membuka perwakilan di Indonesia.
4. Untuk proses tata kelola penapisan konten, Kemkominfo terus melakukan perbaikan baik proses, pengorganisasian, teknis, maupun Sumber Daya Manusia (SDM).
Latar belakang pemblokiran Telegram
Isu pemblokiran situs web Telegram menyedot perhatian masyarakat. Kemkominfo menilai, Telegram berisi banyak konten yang menyangkut penyebaran radikalisme dan terorisme.
Untuk itu, Kemkomnfo mengirim permohonan kepada pihak Telegram untuk membersihkan konten-konten tersebut dari seluruh kanal yang difasilitasi oleh pihak Telegram.
Pemerintah telah mengirim email sebanyak enam kali sejak 29 Maret 2016 sampai 11 Juli 2017 kepada Telegram. Semua email tersebut telah terkirim dan diterima oleh Telegram, tapi belum mendapatkan tanggapan.
Keputusan untuk melakukan pemblokiran terhadap ribuan konten Telegram dilaksanakan setelah mempertimbangkan ketiadaan niat baik dari Telegram, sejak dikirimkan email ke-6 dari Selasa (11/7/2017) sampai Kamis (13//7/2017).
Karena tidak ada tanggapan dari Telegram, Kemkominfo memutuskan memblokir situs web Telegram, yang berisi ribuan konten radikalisme dan terorisme.
Kemkominfo pada 14 Juli 2017 pukul 11.30 WIB, memerintahkan seluruh Internet Service Provider (ISP) untuk memblokir 11 Domain Name System (DNS) terkait situs web Telegram.
Sebelum mengambil keputusan untuk memblokir, Kemkominfo mengaku sekali lagi melakukan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang menangani isu radikalisme dan terorisme.
Kemudian pada Minggu (16/7/2017), pukul 07.00 WIB, Durov menyampaikan permohonan maaf dan mengakui telah menerima email komunikasi dari Kemkominfo, meski sebelumnya mengatakan belum menerima email laporan dari Kemkominfo. Selanjutnya ia berkomitmen untuk membuka jalur komunikasi dengan Kemkominfo.
Berdasarkan pernyataan Durov itu, Kemkominfo menindaklanjuti dengan memberi jawaban untuk meminta pihak telegram menyiapkan tim teknis dan administrasi guna mendukung proses komunikasi dan koordinasi secara lebih intens.
Kemkominfo mengaku sangat menghargai tanggapan, niat, dan keinginan Telegram untuk membangun kerja sama dengan Kemkominfo.
(Din/Isk)
Tonton Video Menarik Berikut Ini: