Liputan6.com, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, menilai bisnis satelit sebagai bisnis yang kompleks (rumit) dan berisiko. Kedua hal tersebut mulai dari proses pembuatan hingga pengoperasiannya.
Menurut Rudiantara dibutuhkan waktu puluhan bulan untuk merancang dan memproduksi satelit. Tentunya hal tersebut bukan perkara sederhana.
"Bisnis satelit itu bisnis yang kompleks dari sisi desain dan berisiko karena return-nya tidak seatraktif seluler. Bisnis satelit punya risiko sejak peluncuran hingga pengoperasian," tutur Rudiantara saat ditemui di kantor Kemkominfo, Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Advertisement
Mengingat kerumitan dan risiko bisnis tersebut, pemerintah selalu mewanti-wanti perusahaan Indonesia dalam proses peluncuran satelit. Ia menekankan pentingnya persiapan yang matang agar tidak terjadi penundaan peluncuran.
Baca Juga
"Tiga, empat atau lima tahun paling lama, sebelum satelit berakhir (masa operasional), kami sudah tanya untuk penggantinya karena butuh 30-36 bulan untuk manufaktur. Kami minta kontraknya bagaimana dan desainnya seperti apa. Itu cara kami untuk memastikan dan mengawasi agar tidak ada penundaan untuk pergantian satelit," jelas pria yang akrab disapa Chief RA tersebut.
Lebih lanjut, Rudiantara menekankan besarnya kebutuhan satelit untuk komunikasi di Indonesia. Slot orbit yang dioperasikan perusahaan-perusahaan Indonesia termasuk Telkom, hanya bisa memasok 50-60 persen dari kebutuhan yang ada.
Karena itu, pemerintah tengah menyiapkan satelit sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), yang diharapkan dapat memenuhi semua kebutuhan.
Anggaran yang dibutuhkan untuk pengadaan satelit pemerintah ini bisa mencapai US$ 400 juta. Satelit ini ditargetkan meluncur pada 2021.
Menurut penjelasan Rudiantara beberapa waktu lalu, satelit ini nantinya akan dimiliki oleh Kemkominfo. Namun, pengoperasiannya akan diserahkan kepada operator telekomunikasi. Ia memastikan operator yang mengoperasikan adalah perusahaan Indonesia.
"Karena ini satelit khusus, anggarannya diperkirakan bisa mencapai US$ 400 juta untuk High-Throughput Satellite (HTS) di ground segmen untuk TeleTracking, kontrol, dan monitoring. Angkanya nanti bisa saja bertambah," ungkap Rudiantara kala itu.
(Din/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini