Sukses

Kurang Sosialisasi, Banyak Masyarakat Belum Paham TV Digital

Banyak masyarakat masih menanyakan seputar perbedaan antara televisi digital dan analog serta keunggulan bila mereka menggunakan digital.

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di DPR RI dan Badan Legislasi yang tidak kunjung usai, Asuka Digital Car TV didukung Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) mendorong Indonesia untuk bermigrasi segera dari televisi analog ke digital.

Mereka menilai pengembangan dan penyebaran televisi digital di Indonesia sangat terlambat, terutama di daerah dan seharusnya menjadi pembahasan yang serius bagi pemerintah. Pasalnya, lebih dari 120 negara berhasil melakukan Analog Switch Off (ASO) sehingga teknologi pertelevisiannya lebih maju.

"Pokok masalah ini telah menjalani proses sampai sekitar 10 tahun dan tak kunjung selesai sampai saat ini," kata Erik Lumanto Dirut Digital Asuka Car TV di acara diskusi bertema 'Televisi Digital Indonesia, Terlambat atau Diperlambat?' di Jakarta.

Melalui keterangan tertulisnya, Jumat (3/11/2017), Erik menuturkan selama ini digitalisasi penyiaran di Indonesia belum banyak diketahui secara luas. Salah satu penyebabnya karena kurangnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

Sebagai contoh, Erik menambahkan, banyak masyarakat yang masih menanyakan seputar perbedaan antara televisi digital dan analog serta keunggulan bila mereka menggunakan digital. Hal ini berdampak pada pelaku usaha dalam negeri.

Diskusi ini sendiri bertujuan untuk membantu mengedukasi masyarakat luas dan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya migrasi dari TV analog ke digital. Juga mendukung dan mendorong stasiun televisi lainnya untuk melakukan peralihan dan perluasan lingkup siaran hingga ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Acara tersebut juga memiliki misi untuk menggaungkan kebutuhan digitalisasi televisi Indonesia yang sudah sangat mendesak, guna mendapat perhatian khusus dari pemerintah maupun masyarakat.

 

2 dari 3 halaman

Penerapan Single Mux Tak Sesuai Demokratisasi Penyiaran

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI.

Apabila terjadi kesepakatan, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang selanjutnya akan membawa draf tersebut ke Sidang Paripurna DPR sebelum sah menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.

Meski proses tersebut sedang berjalan, konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan. Alasannya, masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu, terutama untuk menciptakan industri penyiaran yang sehat.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah mengenai model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.

Dalam hal ini, Komisi I tak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.

Menurut Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran. Sekadar informasi, konsep tersebut menetapkan frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI.

"Kami tegas menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal itu dilakukan lembaga milik pemerintah," ujarnya beberapa waktu lalu.

3 dari 3 halaman

Konsep Single Mux Bukan Solusi

Ia mengatakan, konsep single mux bukan menjadi solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux akan berdampak pada LPS yang saat ini sudah ada akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi sebagai roh penyiaran sekaligus jaminan kegiatan penyiaran dikelola satu pihak saja.

Juga akan terjadi pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun. Akibat lain adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.

"Solusinya adalah memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal sebagai model hybrid. Model ini merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktik monopoli (single mux)," ujarnya.

Ishadi mencontohkan, konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yakni Jerman dan Malaysia.

Akan tetapi, di kedua negara itu, pangsa pasar TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen, sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH.

"Berbeda di Indonesia yang memiliki pangsa pasar TV FTA 90 persen dan sisanya adalah TV kabel," tuturnya.

Namun, konsep itu tak berjalan mulus dan bermasalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tak kompetitif sehingga stasiun televisi termasuk milik pemerintah tak mau membayar biaya sewa kanal, sehingga tak sehat bagi industri penyiaran.

(Isk/Dam/Ysl)

Simak Video Pilihan Berikut Ini: 

Â